Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara
Ada yang pernah mendengar lagu ini? Tahun 90-an, lagu ini sering banget terngiang di telinga, bahkan setiap hari videonya muncul di salah satu stasiun televisi. Mengena banget ya? Bagi saya pribadi, iya. Saya yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar bahkan sangat hafal liriknya dengan video yang diperankan beberapa anak sekolah berjalan di pinggiran rel kereta.
Mudahkah Menjadi Seorang Guru?Â
Tugas seorang guru sebagai pengajar memang saya rasakan luar biasa effort-nya. Beragam karakter muridnya yang aduhai memang membutuhkan perhatian tiada batas. Bayangkan saja, satu murid malas mengerjakan PR, dan yang lainnya malah asyik ngobrol tanpa menghargai keberadaan gurunya. Bagaimana perasaan Anda jika menjadi gurunya?
Kita tidak bisa menampik ya, bahwa kemampuan penerimaan informasi pada otak setiap anak kan tidak sama. Ada yang mudah menerima, ada yang sulit.
Hal yang memprihatinkan adalah ketika seorang guru dihadapkan pada kondisi bahwa si anak sulit menerima informasi yang ia sampaikan. Ini artinya sang guru harus bekerja keras untuk menransfer ilmunya dengan cara "istimewa". Untung-untung jika si anak memiliki karakter mau belajar dan pantang menyerah.
Nah, kalau dihadapkan pada anak yang karakternya serba instan, tidak mau tahu atau malas berjuang? Ini tentu semakin menambah deretan PR bapak/ibu guru yang harus segera diselesaikan.
Menyampaikan Teori, Masih Bermanfaatkah?Â
Zaman dimana saya masih sekolah dulu, teori yang disampaikan oleh guru itu semacam 'harta karun' yang gakkan pernah saya lewatkan. Saya selalu mencatat manual apa yang disampaikan oleh guru dan saya baca lagi saat ujian akan berlangsung. Bagi saya, penjelasan guru itu lebih mudah dipahami daripada teori yang tertulis di buku pelajaran.
Gak heran jika saat sepulang sekolah, buku catatan saya selalu menjadi rebutan teman-teman lainnya untuk diperbanyak atau mereka bawa ke rumah untuk dipelajari.
Hal yang akan menjadi masalah adalah ketika anak-anak tersebut mengakses informasi yang tidak selayaknya mereka dapatkan. Nah, jika sudah masuk ke ranah ini, orang tua dan guru setidaknya bisa berkolaborasi untuk memberikan pengawasan & bimbingan berkelanjutan kepada anak tersebut.
Selain Mengajar, Tugas Guru adalah MendidikÂ
Memang benar, pekerjaan guru di era milenial ini sepertinya memang semakin berat. Tak hanya mengajar, mereka juga dituntut untuk bisa mendidik para muridnya. Ini terkait dengan semakin memudarnya unggah-ungguh (sikap) baik anak-anak milenial terhadap orang yang lebih tua, tak terkecuali gurunya.
Anak zaman sekarang memiliki prioritas yang tak sama dengan ABG masa lalu seperti saya. Jika di masa lalu, belajar itu dianggap sebagai kegiatan wajib dan 'sakral', karena risiko tidak naik kelas itu ada jika nilai ujiannya jelek, maka anak zaman sekarang menganggap belajar itu sebagai kegiatan sampingan.
Ya, mereka lebih senang menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas lain sesuai hobinya. Ada yang gemar jalan-jalan, nge-mall bareng teman, nonton, hangout di kafe, duduk mantengin layar seharian atau mainan gadget di pojokan kamar bagi yang introvert.Â
Perkembangan teknologi ini tentu saja membuat anak-anak semakin 'pintar' dari waktu ke waktu. Â Ya, mereka semakin cerdas memilih segala informasi yang mereka sukai. Hanya saja, tidak semua hal yang mereka dapatkan itu positif. Nah, kebebasan mengakses internet ini terkadang mengkhawatirkan karena apa yang mereka terima, tidak semuanya tersaring dengan baik.
Hal ini secara tak langsung bisa berdampak pada keseharian mereka. Bisa pada cara pikirnya, bahasa tubuhnya, cara mendapatkan solusi bahkan perkembangan mentalnya. Tak terkecuali perihal sikap yang anti sosial saat mereka memilih bergerak di dunia maya, sikap merasa benar sendiri juga sulitnya mematuhi 'rambu-rambu' dalam kehidupan sosial, termasuk di sekolah.
Guru Masa Kini harus Memiliki "Power"Â
Perkembangan zaman menuntut guru untuk bisa tetap kokoh berdiri walaupun diterpa banyak tantangan. Guru-guru zaman dulu banyak dipusingkan dengan murid-muridnya yang lupa mengerjakan PR, terlambat masuk kelas atau berisik sendiri saat diajar di ruang kelas. Zaman sekarang, satu PR besar yang harus diemban guru adalah menuntun anak didiknya agar memiliki akhlak yang baik.
Saat duduk dibangku SMP saja, saya sudah dihadapkan pada fenomena teman-teman sekolah saya yang kena 'semprit' oleh pihak sekolah. Banyak aksusnya, entah itu karena suka tawuran atau hamil di luar nikah. Permasalahan zaman sekarang pastinya lebih kompleks lagi. Saya sedikit paham karena beberapa teman saya berprofesi sebagai guru. Ya, gaji mereka gak seberapa, namun beban yang ditanggung tidaklah mudah.
Bahkan, orang tuanya harus datang dari pulau daerah timur hanya untuk melihat kondisi anaknya yang malas sekolah, bahkan tidak mau mengikuti ujian. Sebagai guru kelasnya, teman saya mencoba memberikan banyak nasihat untuk si anak tersebut. Berbagai cara ia lakukan agar orang tua si anak bisa sedikit terobati rasa khawatirnya.
Tapi yang didapat bukannya hal baik, justru bantahan & cacian dari si anak tersebut. Makin lama makin tak terkendali & proses pendidikan si anak di salah satu SMU swasta di Jogja tersebut dipastikan hancur.
Sebagai seorang guru, saya tahu betul bagaimana perasaan teman saya itu. Pastinya dia kecewa, sakit hati, ingin marah sekuat-kuatnya karena perlakuan yang ia dapatkan. Namun ia masih harus bangkit berdiri, karena puluhan murid lainnya masih membutuhkan bimbingannya demi menjemput masa depan yang baik.
Terimakasih Bapak Ibu Guru atas PerjuangannyaÂ
Saya bukanlah seorang guru, namun saya tahu bahwa menjadi guru itu bukanlah profesi yang mudah. Permasalahan tak selalu hadir diantara ia dan anak didiknya, namun bisa terjadi antara ia dan orang tua murid.
Ya, banyak kesalahpahaman terjadi hanya karena orang tua kurang menerima informasi dengan baik, atau kurang suka jika anaknya mendapat sebuah pembelajaran hidup yang seseungguhnya bermanfaat bagi masa depannya kelak.
Untuk semua guru saya, mulai dari TK hingga kuliah, terimakasih atas kerja kerasnya membimbing saya hingga saya bisa mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Di setiap pencapaian yang (mungkin) saya dapatkan, saya percaya ada bagian yang merupakan investasi ilmu dari kalian semua di masa lalu.
Satu nilai yang saya dapatkan dari guru-guru yang akhirnya saya temukan sebagai refleksi diri. Teori itu jangan hanya dipahami atau dihafalkan, namun dipraktekkan. Saya percaya, ilmu-ilmu yang saya dapatkan di sekolah itu hanyalah proses pemanasan, sedangkan tugas seorang (mantan) murid seperti saya adalah mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.
"Guru yang baik itu ibarat lilin, membakar dirinya sendiri demi menerangi orang lain." (katabijak.com)
Selamat Hari Guru 2019
Riana Dewie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H