Memang benar, pekerjaan guru di era milenial ini sepertinya memang semakin berat. Tak hanya mengajar, mereka juga dituntut untuk bisa mendidik para muridnya. Ini terkait dengan semakin memudarnya unggah-ungguh (sikap) baik anak-anak milenial terhadap orang yang lebih tua, tak terkecuali gurunya.
Anak zaman sekarang memiliki prioritas yang tak sama dengan ABG masa lalu seperti saya. Jika di masa lalu, belajar itu dianggap sebagai kegiatan wajib dan 'sakral', karena risiko tidak naik kelas itu ada jika nilai ujiannya jelek, maka anak zaman sekarang menganggap belajar itu sebagai kegiatan sampingan.
Ya, mereka lebih senang menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas lain sesuai hobinya. Ada yang gemar jalan-jalan, nge-mall bareng teman, nonton, hangout di kafe, duduk mantengin layar seharian atau mainan gadget di pojokan kamar bagi yang introvert.Â
Perkembangan teknologi ini tentu saja membuat anak-anak semakin 'pintar' dari waktu ke waktu. Â Ya, mereka semakin cerdas memilih segala informasi yang mereka sukai. Hanya saja, tidak semua hal yang mereka dapatkan itu positif. Nah, kebebasan mengakses internet ini terkadang mengkhawatirkan karena apa yang mereka terima, tidak semuanya tersaring dengan baik.
Hal ini secara tak langsung bisa berdampak pada keseharian mereka. Bisa pada cara pikirnya, bahasa tubuhnya, cara mendapatkan solusi bahkan perkembangan mentalnya. Tak terkecuali perihal sikap yang anti sosial saat mereka memilih bergerak di dunia maya, sikap merasa benar sendiri juga sulitnya mematuhi 'rambu-rambu' dalam kehidupan sosial, termasuk di sekolah.
Guru Masa Kini harus Memiliki "Power"Â
Perkembangan zaman menuntut guru untuk bisa tetap kokoh berdiri walaupun diterpa banyak tantangan. Guru-guru zaman dulu banyak dipusingkan dengan murid-muridnya yang lupa mengerjakan PR, terlambat masuk kelas atau berisik sendiri saat diajar di ruang kelas. Zaman sekarang, satu PR besar yang harus diemban guru adalah menuntun anak didiknya agar memiliki akhlak yang baik.
Saat duduk dibangku SMP saja, saya sudah dihadapkan pada fenomena teman-teman sekolah saya yang kena 'semprit' oleh pihak sekolah. Banyak aksusnya, entah itu karena suka tawuran atau hamil di luar nikah. Permasalahan zaman sekarang pastinya lebih kompleks lagi. Saya sedikit paham karena beberapa teman saya berprofesi sebagai guru. Ya, gaji mereka gak seberapa, namun beban yang ditanggung tidaklah mudah.
Bahkan, orang tuanya harus datang dari pulau daerah timur hanya untuk melihat kondisi anaknya yang malas sekolah, bahkan tidak mau mengikuti ujian. Sebagai guru kelasnya, teman saya mencoba memberikan banyak nasihat untuk si anak tersebut. Berbagai cara ia lakukan agar orang tua si anak bisa sedikit terobati rasa khawatirnya.
Tapi yang didapat bukannya hal baik, justru bantahan & cacian dari si anak tersebut. Makin lama makin tak terkendali & proses pendidikan si anak di salah satu SMU swasta di Jogja tersebut dipastikan hancur.