Mohon tunggu...
Riana Dewie
Riana Dewie Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Simple, Faithful dan Candid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kembalinya Puluhan Naskah Keraton Yogyakarta yang Dulu Dijarah Raffles

3 April 2019   06:00 Diperbarui: 3 April 2019   12:43 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Naskah Keraton (foto manuskrip di Museum Sonobudoyo Yogyakarta - dok.pri)

Tertata cantik di kotak kaca, naskah-naskah koleksi perpustakaan Keraton dan Pakualaman ini tampak anggun memamerkan aksara demi aksara. Tak hanya itu, 75 naskah Keraton yang dulu dijarah Raffles saat peristiwa "Geger Sapehi" tahun 1812, kini sedang dipamerkan di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta dalam bentuk digital. Semenarik apa sih ini?

Beruntung, saya dan belasan kawan lainnya bisa kembali menjejakkan kaki di Keraton Yogyakarta untuk menikmati pameran naskah bertajuk "Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat".

Menunggu di area pembelian tiket masuk, kami bercengkrama sejenak sambil menikmati snack ringan sebagai penyuplai energi kami sebelum menjemput salah satu "kekayaan" Keraton ini. Sebagai orang Jogja, saya merasakan euforia kembalinya naskah berharga yang menghilang sejak ratusan tahun ini. 

Sejarah Penjarahan Naskah Keraton Yogyakarta

Sebenarnya, apa sih yang berharga dari naskah-naskah ini? Apa hubungannya dengan peristiwa Geger Sapehi? Berikut ringkasan kisah yang saya ringkas dari salah satu judul artikel di Tirto:

Setelah Inggris berhasil merebut Jawa dari belanda di tahun 1811, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles berencana menguasai Keraton Yogyakarta dengan berbagai cara. 

Suatu ketika ia sangat kesal kepada Sri sultan Hamengku Buwana II selaku Raja Yogyakarta atas penolakan kerja samanya karena mereka dianggap sebagai bangsa asing yang menginjak-injak bumi Mataram.

Ilustrasi Peristiwa Geger Sapehi (babadkerajaan.blogspot.com)
Ilustrasi Peristiwa Geger Sapehi (babadkerajaan.blogspot.com)

Sakit hati karenanya, sekitar 1.200 orang prajurit berkebangsaan Eropa serta serdadu sepoy dari India dikerahkan Inggris untuk mengepung Keraton Yogyakarta pada 18 Juni 1812. 

Sultan Hamengkubuwana II yang saat itu tak mau menyerahkan tahta membuat Inggris naik pitam, hingga akhirnya menghujani meriam dan peluru ke Keraton tanpa ampun. Serangan sempat ditahan oleh Angkatan perang Kesultanan Yogyakarta namun berakhir nahas, mereka kehabisan amunisi

Inggris sukses menduduki Keraton Yogyakarta hingga akhirnya menjarah beberapa "kekayaan" istana yang berharga. Tak hanya uang, mereka juga merampas isi perpustakaan Keraton yang menyimpan ratusan koleksi manuskrip, foto-foto langka, karya-karya pujangga, kitab-kitab lama dsb. 

Hasil jarahan ini tentu saja mereka gotong ke London. Demikianlah peristiwa "Geger Sapehi" terjadi.

Nasib Naskah Keraton Kini Setelah 200 tahun Berlalu

Ceritanya sungguh menyedihkan ya. Kebayang gak situasi Keraton Yogyakarta saat itu? Pastinya kacau, di setiap sudut tampak korban manusia berjatuhan juga kondisi setiap ruang yang porak poranda. 

Padahal Keraton sendiri tak pernah berhenti memproduksi ilmu pengetahuan dan dijadikan sebagai sentra kebudayaan pada zaman itu.

Setelah lebih dari 200 tahun "Geger Sapehi" terjadi, naskah-naskah itu akhirnya kembali ke tangan Keraton Yogyakarta dalam wujud digital. Sedangkan naskah aslinya masih tersimpan cantik di Inggris. 

Dilansir dari Kraton Jogja, Tepat 7 Maret 2019 ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kepala Perpustakaan Nasional RI (Muhammad Syarif Bando), dan Kepala DPAD DIY (Monika N. Lastiyani) menerima secara simbolis 75 naskah digital oleh Moazzam Malik yang tak lain adalah duta Besar Inggris untuk Indonesia, sekaligus peneliti sejarah Jawa Dr Peter Carey .

Naskah dalam Pameran Manuskrip di Museum Sonobudoyo Yogyakarta (dok.pri)
Naskah dalam Pameran Manuskrip di Museum Sonobudoyo Yogyakarta (dok.pri)

Ada banyak naskah yang akhirnya kembali, diantaranya cathetan warni-warni dari perpustakaan keraton, Kapustakan KHP Widyabudaya, babad, serat. Sementara dari koleksi Kapustakan KHP Kridhamardawa ada cathetan gendhing, teks-teks bedhaya, srimpi.

Banyak naskah yang menarik bagi saya pribadi dan hampir semuanya menggunakan aksara Jawa. Hihihi... Saya sih orang Jawa, tapi sayangnya mendadak pusing jika disuruh baca tulisan Jawa. Maklum, kaum milenial.. Hahaha...

Naskah-Naskah Keraton yang Unik dan Bernilai Sejarah

Koleksi naskah-naskah yang dipamerkan dalam wujud fisik juga tak kalah menarik. Dari penampilannya, naskah-naskah ini memang tampak masih bagus dengan goresan tinta yang masih memiliki tingkat keterbacaan baik, walaupun beberapa ada yang memudar. 

Naskahnya sendiri disusun dari kertas-kertas berbahan agak tebal dan katanya sih masing-masing naskah ada watermark, dimana ini sebagai identitas kapan naskah ini dibuat. Saya sih gak bisa intip ya, secara dikemas manis dalam kotak kaca yang besar. Hihihi...

Untuk warna naskahnya, rata-rata memiliki warna putih ke arah buram, atau ada pula yang krem. Saya kurang paham, apakah warna ini terbentuk karena terlalu lama disimpan (usang) atau memang sudah seperti ini dari aslinya. 

Untuk isi teksnya, sebagian besar dipenuhi dengan aksara Jawa yang mayoritas digores dengan tinta warna hitam. Untuk ukuran dan tebal naskah memang bervariasi, mulai dari ukuran kecil hingga besar terpajang di sana.

Nah, beberapa naskah yang saya lihat juga mengandung keindahan, loh. Ada yang tahu kenapa? Karena sebagian tulisan di tiap lembarnya ada yang dihiasi dengan bingkai ornamen yang mungkin memiliki filosofi tertentu (saya belum memahami maknanya secara detail). 

Jujur, saya merasa senang dan bangga menjadi bagian dari generasi milenial yang masih berkesempatan untuk menyaksikan peninggalan bersejarah ini.

Setiap naskah yang dipamerkan dilengkapi dengan informasi singkat, dimana rata-rata berisi judul naskah, inti dari isi naskah, jumlah halaman, tahun terbit serta perpustakaan yang mengoleksi. Nah, jika dilihat dari tahun terbitnya, naskah-naskah bersejarah ini berasal dari periode yang tak sama.

Sastra Babad adalah salah satu yang menarik perhatian saya. Beberapa jenis Babad yang dipajang adalah Babad Ngayogyakarta: Hamengku Buwono l dumugi Hamengku Buwono III (1817), Babad Giyanti dumugi Geger Inggrisan Jumenengan HB l (1847), Babad Ngayogyokarta: Hamengku Buwono V, VI, VIl, VIll, hingga serat bercerita pewayangan, seperti Serat Bratayudha dan Serat Ariunasasrabahu.

Sebanyak 24 koleksi manuskrip asli Keraton Yogyakarta juga dipamerkan, disamping naskah seni pertunjukan yang berkembang pada masa Sultan HB VIl, seperti Serat Kandha Ringgit Tiyang: Lampahan Semar Bayong, Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi, serta Serat Pakem Wirama. 

Wah, beragam ya naskahnya, rugi loh kalau gak intip koleksinya. Kan gak tiap hari dipajang di Keraton.

Yuk Hadiri Pameran Naskah Keraton Sekarang

Nah, buat kamu para pecinta budaya dan sejarah, harus banget nih datang ke acara pameran manuskrip di Keraton. Akan ada banyak ilmu yang bakal didapat, terutama alur cerita mulai dari terjadinya peristiwa Geger Sapehi, penjarahan naskah Keraton hingga naskah-naskah ini kembali. 

Kembalinya naskah ini (walau hanya dalam wujud digital) pastinya akan menjadi babak baru sejarah Keraton Yogyakarta setelah ratusan tahun lamanya kehilangan sebagian harta yang bisa dijadikan rujukan untuk membangun peradaban masyarakat.

Nah, bagaimana sih asyiknya mendatangi pameran naskah ini? Berikut beberapa hal menarik yang saya temukan di sana.

1. Tiket masuk murah meriah
Buat kamu masyarakat Jogja atau yang sedang liburan ke Jogja, boleh banget loh manfaatkan kesempatan untuk menyaksikan pameran naskah Jawa ini. Jangan khawatir, tiket masuknya sangat terjangkau kok. Berapa? Rp. 100 ribu? Hihihi salah banget. 

Nih loh cuma Rp. 5.000,-, kamu sudah bisa melihat beberapa warisan Keraton yang tak ternilai harganya (buka jam 09.00 - 21.00 WIB). Lebih murah dari biaya beli pulsa kamu kan? Hihihi...

2. Dilarang Membawa Masuk Gawai dan Kamera
Nah, buat warning bersama ya ini. Saat kamu ingin masuk ke pameran naskah Keraton, kamu wajib menitipkan tas, gawai, kamera dan semua yang kamu bawa ke petugas. 

"Ini kan warisan Keraton yang sangat berharga dan satu-satunya di dunia. Keraton ingin menjaga ini agar tetap aman dan bisa dinikmati generasi penerus bangsa", ungkap seorang penjaga pameran saat memberikan alasan mengapa ruang dan isi pameran tidak boleh didokumentasikan.

Foto Bersama usai menikmati pameran Naskah Keraton (dok.pri)
Foto Bersama usai menikmati pameran Naskah Keraton (dok.pri)

3. Guide Siap Melayani dengan Sepenuh Hati
Nah, sampai di sana mau ngapain? Bingung dengan alur sejarahnya? Jangan khawatir, setiap tamu yang berkunjung akan disapa ramah oleh guide yang bertugas. 

Mereka sangat antusias menyambut setiap pengunjung, apalagi orang-orang yang haus akan informasi tentang sejarah naskah-naskah ini. 

Alur cerita sejarahnya akan diinformasikan dengan secara menarik dan mudah diterima. Gak hanya domestik, banyak bule-bule juga loh yang kepo dengan naskah-naskah ini.

4. Gratis Berkeliling Area Keraton
Pameran ini digelar di dua area Bangsal Pagelaran Keraton. Nah, setelah asyik menikmati puluhan naskah Keraton yang kini "kembali", kemarin saya dapat bonus bisa bercengkrama dengan para prajurit keraton yang sedang bertugas di sana. 

Mereka bercerita tentang aneka hajatan Keraton Jogja yang akan berlangsung, juga tentang kebahagiaan mereka bisa menjadi bagian dari abdi dalem Keraton.

Nah jika di dalam ruang pameran dilarang membawa kamera, di luar ruangan boleh banget loh kalau ingin mendokumentasikan momen. Bisa berfoto di depan mobil yang dulunya sering digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga berkeliling Keraton menikmati nuansa teduhnya. Wih asyik.

Saya berfoto di depan benda bersejarah, yaitu mobil dinas Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat dulu masih memimpin Yogyakarta (dok.pri)
Saya berfoto di depan benda bersejarah, yaitu mobil dinas Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat dulu masih memimpin Yogyakarta (dok.pri)

***

Nah, itulah hasil jalan-jalan saya bersama beberapa teman dalam komunitas KJOG (Kompasianer Jogja) sekaligus menikmati pameran Naskah Keraton setelah sekian lama "menghilang". 

Sebagai informasi, sebelum penerimaan naskah-naskah ini berlangsung, simposium internasional juga diadakan pada tanggal 5-6 Maret sebagai peringatan 30 tahun bertakhtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X berdasar kalender Masehi. Wah, selamat Pak Sri Sultan.

Pembukaan Pameran Naskah Keraton bersama Sri SUltan Hamengku Buwono X (jogjaprov.go.id)
Pembukaan Pameran Naskah Keraton bersama Sri SUltan Hamengku Buwono X (jogjaprov.go.id)

Yuk kita sambut terwujudnya Keraton milenial bagi para generasi muda agar bersemangat mempelajari naskah-naskah kuno sebagai modal untuk membangun peradaban modern tanpa harus meninggalkan nilai luhur bangsa dan sejarahnya.

Riana Dewie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun