"Makanan khas Indonesia itu harus dilestarikan. Sampai tua juga gak bakal ngebosenin, pokoknya selalu ngangenin...", demikian ungkap Haryanto Makmoer, seorang baker sekaligus Dewan Chef Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Menarik, ia adalah satu chef yang terjun langsung memberikan sosialisasi dan edukasi kepada pelaku UMKM dan pengusaha bakery agar berani asah kreativitas. Dalam "Kompetisi Oleh-oleh" with U.S. Ingredients ini, mereka ditantang untuk membuat makanan khas Indonesia tapi dengan bahan baku kentang, kismis dan kacang dari Amerika. Gimana ya hasilnya? :D
Acara ini digawangi oleh IPA (Indonesia Pastry Alliance),asosiasi yang menaungi berbagai praktisi pastry dan bakery di seluruh Indonesia. Diadakan di tiga kota besar, yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Bali, acara ini sukses menarik perhatian banyak kalangan. Tak hanya pelaku UMKM dan pengusaha bakery saja yang kecantol, namun masyarakat yang tidak punya basicbisnis kue pun tertarik untuk mengikuti kompetisi ini. Â
Haryanto Makmoer, seorang chef yang sejak dulu berkampanye untuk melestarikan jajanan khas Indonesia. Tak jauh dari pekerjaannya, ia memang berkecimpung di bidang kue dan pastry. Tak jarang ia berkeliling dunia untuk mengembangkan bakat dan kreativitasnya, disamping berbagi ilmu tentang baking, tak terkecuali pada kompetisi ini.
Saat ditemui beberapa rekan pers, Ia sempat ungkap keprihatinannya, "Orang Indonesia itu pinter dan kreatif jika membuat kue, sayangnya mereka takut menjualnya." Fenomena ini memang terjadi pada masyarakat kita---ide yang dikeluarkan selalu cemerlang namun sulit untuk merealisasikan, apalagi mempublikasikan. Ada beberapa perasaan negatif  yang sering dihadapi, yaitu takut gak laku, takut gak enak di lidah, takut gak diterima masyarakat dan semuanya. Lucunya, mereka seakan mundur sebelum berperang :D
Ada pula persepsi lucu lainnya dari masyarakat, yaitu tentang grade bahan makanan yang berasal dari Indonesia. Saat kita icip kue, lidah dan bibir bisa mengatakan, "kue ini enak ya...". Tapi saat diberi tahu, itu bahannya murah meriah loh, dari ketela loh, beberapa penikmat langsung menurunkan ekspektasinya. Hihihi... Endingnya, mereka anggap makanan ini menjadi tak menarik lagi lah, harga turun drastis lah, dan perlakuan gak mengenakkan lainnya. Tapi jika kita makan camilan impor, bagaimana pun rasanya, bagaimana pun bentuk dan proses pengolahannya, banyak orang bakal memberikan ekspektasi dan penghargaan yang  lebih tinggi. Iya apa iya?? :D
Nah, semua itu adalah budaya dan tak ada yang patut disalahkan. Setiap negara memiliki hasil bumi yang tak sama sehingga harga yang dipathok pun tak sama. Dan inilah biang dari 'persepsi' tersebut. hihihi... Â Mengamati berbagai fenomena unik ini, diadakanlah 'Oleh-Oleh Competition' oleh beberapa pihak, yang bertujuan untuk menetralisir semua persepsi negatif tentang makanan Indonesia.
Ada tantangan gila saat peserta mengikuti kompetisi ini. Para peserta diarahkan untuk membuat makanan khas Indonesia dari bahan lokal namun harus dikolaborasikan dengan bahan-bahan berkualitas dari Amerika, yaitu kentang, kismis dan kacang-kacangan. Dalam proses kompetisi, mereka menerima pendampingan khusus selama proses pengolahan makanan.
Peserta juga dibekali ilmu tentang efisiensi dan efektivitas pengolahan bahan makanan sehingga menghasilkan produk berkualitas namun dapat menekan biaya. Misalnya produk bakpia. Bakpia identik dengan isi kacang ijo bukan? Mengapa tidak diganti dengan bahan lainnya, misal kacang polong? Chef Haryanto Makmoer menuturkan bahwa di akhir tahun 2017 kemarin, harga 1 kg kacang ijo adalah sekitar Rp. 18.000,- sedangkan kacang polong hanya sekitar Rp. 12.500,-. Untuk rasa, sama-sama gurih dan enak juga kok. Kesimpulannya, memproduksi bakpia dengan kacang polong dapat menekan biaya.
Kembali lagi ke kompetisi. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa harus dikolaborasikan dengan bahan impor? Bahan impor, seperti polong, kismis atau kentang bukankah selalu lebih mahal? Ya, dari segi harga yang tertera memang tampak lebih mahal namun dari segi efektivitas dan efisiensi, bahan impor bisa jadi pemenangnya. Coba bayangkan, ada kalanya saat butuh kentang lokal sebesar 1 kg, ini bisa digantikan hanya dengan menyediakan 0,5 kg kentang impor. Kenapa? Karena kentang impor biasanya lebih stabil, kadar airnya pas dan juga bisa tumbuh di berbagai musim. Itu satu contoh kecilnya.
Kompetisi ini diikuti oleh puluhan peserta dari tiga kota besar di Indonesia. Dari masing-masing kota, diadakan babak penyisihan hingga per kota tersisa 4 peserta dan berkesempatan untuk berjuang ke babak final di Jakarta. Dalam kompetisi ini, dipastikan tidak ada yang namanya manipulasi atau kecurangan peserta karena saat mereka terpilih sebagai 12 besar, mereka wajib mendemonstrasikan proses pengolahan produk jagoan masing-masing secara live di depan juri dalam waktu 8 jam.
Dari 12 peserta, dipilihlah satu peserta sebagai pemenangnya, dan 'BODJO' adalah peserta yang beruntung. BODJO digarap oleh sepasang suami istri yang berdomisili di Jogja. Mereka memproduksi cakeyang merupakan kombinasi bahan pisang dan coklat, lalu sukses menerima tantangan juri untuk dikolaborasikan dengan produk U.S. Ingredients, yaitu kentang, kismis dan kacang-kacangan. Bagaimana taste-nya? Luar biasa.
Dalam proses penilaiannya sendiri, juri memegang empat komponen utama sebagai dasarnya. Pertama, aspek originalitas, yaitu apakah tiga produk import tersebut dimanfaatkan semua ataukah tidak. Kedua, legalitas, sudahkah produknya memiliki nomor yang terdaftar di Dinkes. Ketiga, rasa dan bentuk makanan, apakah bahan impor ini cocok dikolaborasikan dengan jenis makanan yang diolah. Dan yang terakhir dari segi packaging, apakah variasi warna dan bentuk sesuai dengan produk yang dijual.
Kegiatan edukatif ini terbukti memberikan pengalaman baru bagi para peserta. Sekalipun hanya dipilih satu pemenang utama, para peserta justru tampak guyub dan saling supportuntuk pengembangan produk masing-masing. Nah, tujuan dari diadakannya kompetisi ini adalah:
- Memberikan edukasi tentang bisnis olahan makanan Indonesia kepada para pengusaha pemula atau pelaku UMKM, terutama menstimulus rasa percaya diri peserta saat memulai bisnis. Selain itu, kompetisi ini juga memberi wadah untuk belajar bisnis bakery bersama, mulai dari teknik pengolahan, cara penyajiannya hingga cara menjualnya.
- Mempertahankan kualitas sebuah produk oleh-oleh yang khas. Di zaman sekarang, daya beli masyarakat untuk produk makanan memang meningkat. Terbukti dari banyaknya selebriti yang memanfaatkan moment ini dengan membuka bisnis kue. Packing dan harga memang bagus, namun apakah rasanya selalu sesuai ekspektasi? Nah, event in sekaligus mengedukasi peserta untuk bisa mengolah makanan namun tetap memperhatkan kualitas rasa. Karena 'rasa' akan membuat masyarakat ketagihan dan membuatnya ingin beli dan beli lagi.
Satu pesan bagus nih. Jangan bangga saat membawa oleh-oleh coklat dari Eropa karena kebun cocoanya kan ada di Indonesia.. hihihi.., namun banggalah saat produk Anda ditenteng oleh bule-bule yang sedang liburan di Indonesia untuk dibawa ke negara mereka... karena itu artinya kita sukses berkarya :D Â
Riana Dewie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H