Mohon tunggu...
Riana Dewie
Riana Dewie Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Simple, Faithful dan Candid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama featured

Idul Fitri Hanya untuk Muslim? Saya Rasa Tidak

10 Juli 2015   11:25 Diperbarui: 7 Juli 2016   11:50 8214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Eh, besok kalau libur Idul Fitri, mau kemana aja?”Tanya seorang teman sekantor saya.

Mudik donk. Saya kan selalu mudik waktu lebaran. Kan banyak saudara berdatangan di rumah nenek saya...”, Jawab saya bersemangat.

“Lhohh.. Bukannya kamu non muslim? Kok ikut merayakan Lebaran?” Tanya dia heran.

“Jangan salah. Sejak saya bayi juga sudah terbiasa mengikuti kemeriahan Lebaran tiap tahunnya. Saya juga beli baju baru, keluarga saya juga bersilaturahmi ke tetangga. Kami juga belanja banyak makanan untuk dibagikan ke keluarga dekat. Malahan perayaan lebaran biasanya lebih heboh suasananya daripada perayaan Natal karena liburnya lebih panjang. Saya justru merasa beruntung karena selalu bisa merayakan dua hari besar agama dalam setahun, yaitu Natal dan Idul Fitri. hehehe”, jawab saya sambil tertawa lebar.  

***

Itulah gambaran singkat tentang kehebohan keluarga saya menjelang hari raya Idul Fitri. Walaupun dibesarkan dalam lingkungan keluarga kristiani, saya pun turun mencicipi kebahagiaan hari raya Idul Fitri setiap tahunnya. Nenek dari ibu saya yang berdomisili di Klaten dan keluarga besar ibu saya hampir semuanya muslim sehingga keluarga saya pun selalu ikut merasakan kemeriahan Lebaran. Berbeda dengan keluarga Bapak saya yang memag berasal dari keluarga Katolik. 

Oleh karenanya, rasa toleransi kami sangatlah besar dalam keluarga. Tidak ada yang namanya fanatik. Tidak ada yang saling menjelekkan agama lain. Bahkan kami saling mendukung dan mengingatkan ‘waktunya beribadah’ kepada anggota keluarga yang beda kepercayaan saat kumpul bersama.

Saya menyebut ini sebagai toleransi yang membawa keharmonisan dalam keluarga besar kami. Sejak kami kecil pun (saya dan sepupu), kami sudah saling berbaur satu sama lain. Saya memiliki seorang sepupu (beda agama) yang kebetulan sama-sama berdomisili di Jogja. Saat dia kecil dulu, dia selalu ikut keluarga saya untuk menjalankan ibadah di gereja setiap minggu. 

Kami tak pernah memaksa atau mengajaknya dengan sengaja agar ikut kami ke gereja. Karena kedekatan kami, dia selalu ‘nginthil’ kemanapun keluarga saya pergi, termasuk ke gereja. Dia makin senang ikut ke gereja karena di pintu gerbang depan gereja, setiap minggunya selalu dipenuhi dengan banyak penjual makanan dan mainan yang mungkin pada saat itu sangat menarik perhatian banyak anak kecil, termasuk kami berdua.

Selain keluarga saya yang selalu ikut merayakan lebaran, kami pun selalu mengundang keluarga kami yang muslim untuk datang ke rumah saat malam perayaan natal. Gemerlap lampu natal di salah satu sudut ruang tamu beserta hidangan kue-kue yang enak selalu menyambut mereka saat datang ke rumah kami. Mereka tak ada rasa sungkan saat berada di rumah kami. Kami justru bisa berbaur satu sama lain tanpa memandang bahwa kami bebeda iman. Ucapan selamat natal pun selalu kami terima dari mereka sehingga kami dapat menyatu sama sama lain dalam kebersamaan dan toleransi antar umat beragama.

Di tahun 2015 ini, kemeriahan dan persiapan untuk menyambut hari besar Idul Fitri tentu sudah sangat terasa sejak awal bulan Ramadhan. Saya juga merasa beruntung ketika berada di bulan penuh berkah ini. Walaupun tak ikut berpuasa, saya suka ikut-ikutan berbuka puasa dengan berbagai menu spesial. Sudah menjadi tradisi, setiap bulan Ramadhan para penjual kuliner menjamur dimana-mana sehingga saya pun selalu ikut memanjakan perut untuk memilih berbagai kuliner sedap yang bisa dibeli di setiap sudut jalan manapun. Tak ketinggalan, Ibu saya pun selalu ikut-ikutan memasak sambal goreng dan ketupat sayur untuk menyemarakkan malam Idul Fitri setiap tahunnya. 

Bukan hanya dalam keluarga besar saya melihat toleransi antar umat beragama, di kantor pun saya merasakan hal yang sama. Jika saya masih berada di kantor saat jam berbuka puasa, saya pun ditawari banyak makanan oleh teman-teman kantor yang sedang berbuka dengan berbagai menu menarik. Saya pun tak pikir panjang untuk melahapnya karena selain saya juga cepat lapar, saya merasa nikmat saat ikut bergabung makan bersama dengan teman-teman saya yang muslim.

Itulah sedikit kisah kehidupan saya, keluarga saya dan lingkungan tempat saya tinggal. Saya merasakan adanya toleransi beragama yang sangat besar sehingga hampir tak pernah kami memperdebatkan “ini agamaku, itu agamamu..!!!”. Yang ada hanyalah bauran kehidupan yang menciptakan kondisi hidup yang harmonis dan bahagia karena kami merasa sangat senang dan terharu ketika mendengar ucapan dari rekan-rekan dan kerabat yang beda agama.....

“Selamat Natal ya..”

“Selamat Lebaran sayang...”

“Ehh mas waktunya jumatan, ntar terlambat lho...”

“Ini hari Minggu kok gak ke gereja mbak..?”

“Eh maaf. Baru latihan koor gereja ya. Saya telepon lagi nanti. Maaf mengganggu...”

***

Itulah rasa sukacita saya jika mengingat betapa besar rasa toleransi orang-orang di sekitar saya yang sangat menghargai perbedaan. Oleh karenanya saya sangat merasa sedih jika banyak tersiar kabar adanya berdebatan antar umat beragama, kurangnya toleransi dalam kehidupan yang berbeda agama, perusakan rumah ibadah agama lain dan sebagainya. Mari bangsa Indonesia, kita ini memiliki satu nenek moyang sehingga kita adalah saudara. 

Mari pegang “Bhinneka Tunggal Ika” agar selalu ingat untuk menghargai perbedaan (pluralisme) dalam hal apapun. Setiap orang memang harus memegang teguh imannya, dimana kita harus dapat melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang Tuhan kita. Atau dengan kata lain kita wajib menjalankan ajaran agama yang kita imani. Tapi saat kita berbaur dengan saudara yang berbeda iman, bukan berarti kita harus masuk ke dalam iman mereka. Kita hanya menghargai mereka dengan hanya sebatas menghadirkan toleransi sehingga tercipta kehidupan yang harmonis.

Mohon maaf, tulisan ini adalah murni perjalanan hidup saya, tanpa rekayasa. Bukan bermaksud untuk menyentil ajaran agama apapun disini. Bukan pula mempertajam perihal boleh atau tidak boleh mengucapkan ‘selamat’ saat umat lain merayakan hari besar agamanya. Ini hanyalah rasa sukacita saya sebagai umat kristiani saat menyambut hari raya Idul Fitri dan toleransi yang saya rasakan saat berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Tentu saja yang diharapkan toleransi beragama bukan hanya hadir dalam iman Kristiani dan Islam saja, namun semua agama yang ada di Indonesia seperti Budha, Hindu ataupun kepercayaan lainnya harus dapat merasakan sukacita yang sama. Yang penting fokus kita bukanlah pada agama, namun pada 'Tuhan' yang pasti dimiliki oleh setiap umat beragama. 

Selamat Idul Fitri (thesusantosfam.blogspot.com)
Selamat Idul Fitri (thesusantosfam.blogspot.com)

Oleh karenanya, seperti judul diatas, rasa-rasanya hari raya Idul Fitri bukan hanya milik umat muslim saja, tapi saya yang beragama Katolik pun merasakan kebahagiaan yang sama. Untuk saudara-saudaraku yang muslim, semoga dilancarkan puasanya hingga menyambut hari kemenangan dengan penuh sukacita. Semoga mudiknya juga lancar jaya, diberikan kesehatan dan keselamatan hingga sampai di kampung halaman. Selamat Idul Fitri 2015. 

Salam, Riana Dewie

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun