Mohon tunggu...
INDRIAN SAFKA FAUZI (Aa Rian)
INDRIAN SAFKA FAUZI (Aa Rian) Mohon Tunggu... Penulis - Sang pemerhati abadi. Pemimpin bagi dirinya sendiri.

Hamba Allah dan Umat Muhammad Saw. 🌏 Semakin besar harapan kepada Allah melebihi harapan kepada makhluk-Nya, semakin besar pula potensi dan kekuatan yang kita miliki 🌏 Link Akun Pertama: https://www.kompasiana.com/integrityrian 🌏 Surel: indsafka@gmail.com 🌏

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tetap Membumi, Walau Tidak Satu Frekuensi

19 Januari 2023   04:30 Diperbarui: 19 Januari 2023   04:37 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membumi (katolik.com)

Hai sahabat Pembaca!

Saya dapat request dari sahabat Kompasianer, bagaimana kalau kita berada dalam lingkungan yang tak satu frekuensi?

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel: Mendeteksi Karakter Golongan Masyarakat dari Siapa Panutannya.

Hmm...

Saya akan sedikit mengulas sebuah kisah.

Mungkin sahabat pernah mendengar Kisah Rasul Muhammad S.A.W yang ditolak hijrahnya di Thaif?

Mari kita renungkan mengapa beliau bisa di tolak di Thaif.

Saya akan memberikan sebuah cerita kisah sebagai sarana pembelajaran hidup tentang tema kali ini. Sebuah kisah realistis masyarakat zaman kini yang dibalut sentuhan fiksi.

Katakanlah seorang pemuka agama bernama Si A.

Si A ini memang seorang yang beragama dikenal taat, namun sayangnya ia gemar mengumbar identitas dirinya bahwa ia adalah Pemuka Agama pilihan Tuhan kepada lingkungan yang ia baru kenal.

Saat masuk di sebuah lingkungan yang katakanlah kurang begitu taat menjalankan perintah agama yang tentunya baru ia datangi. Masuklah si A dalam perkumpulan lingkungan tersebut.

Merasa obrolannya tak sefrekuensi dengan diri Si A, si A meninggi "Ikutilah apa yang ku sampaikan, karena aku adalah seorang pemuka Agama yang diilhami pengetahuan dari Tuhan, niscaya kalian semua selamat dunia akhirat."

Namun alangkah terkejutnya, perkumpulan tersebut menolaknya dengan keras, "Hai seandainya engkau orang beragama, kenapa engkau berkumpul bersama kami? Carilah kawan dari golonganmu, sungguh kamu terlalu suci untuk kami. Dan seandainya engkau berdusta, sungguh hinalah dirimu itu."

Karena tak terima dengan pengusiran itu, Si A mencari perkumpulan lainnya di lingkungan itu, dan mengucap hal serupa.

Namun naas, banyak perkumpulan yang mayoritas menolaknya. Karena menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan masyarakat Si A kunjungi, Si A diusir oleh masyarakat dan tiada seorangpun yang menerimanya.

Nah.

Apa yang kita petik dari kisah fiksi diatas?

Menyamaratakan frekuensi yang kita miliki kepada yang tidak satu frekuensi yang baru kita kenal, sejatinya bukan perbuatan bijak. Karena bisa bubar sebuah perkumpulan dari obrolan yang kita sampaikan, kalaupun tidak... kita yang kena usir.

Kalau kita mendapati lingkungan yang dimata kita derajat frekuensinya dibawah kita, alangkah baiknya kita membumi, karenanya kita bisa diterima lingkungan tersebut.

Berusaha sebaik mungkin memahami beliau semua, tanpa ikut terjerumus pengaruh negatif (jikapun ada) dengan penuh kehati-hatian.

Tak perlu repot-repot menyatakan siapa kita. Biarlah beliau yang ada dilingkungan tersebut yang menilai siapa kita yang sesungguhnya.

Biar beliau yang mencari tahu siapa kita dari orang-orang terdekat dan mengenal jati diri kita, karena toh kita baru kenalan dengan beliau semua.

Kalau sudah tahu tentang kita, sementara kita bergaul berkumpul dengan siapapun walau frekuensinya dibawah kita, maka orang yang kita dekati itu otomatis akan kagum dengan kerendahan hati kita.

"Betapa mulianya diri seorang yang lebih tinggi derajatnya setelah kami mencari tahu tentang dirinya. Ia mau bergaul dengan kita yang berlumur kekurangan ini." Terucaplah dalam hati beliau semua yang menaruh hormat pada kita. Indah bukan?

Dengan kerendahan hati kitalah... kita dapat diterima semua kalangan masyarakat... dan membumi selama-lamanya.

Tidak selamanya frekuensi yang kita miliki mesti kita pertahankan, adakalanya kita turunkan sejenak untuk kebaikan bersama menjalin ikatan persaudaraan, dan meninggikan frekuensi jika memang tiba dibutuhkan atau sarat urgensi.

Dengan cara itulah, pengaruh yang kita tanamkan pada semua kalangan masyarakat, dengan sendirinya frekuensi beliau semua yang kita dekati meningkat selaras dengan derajat frekuensi kita.

Bagaimana?

Apakah sahabat setuju agar tetap membumi dimanapun kita berada?

Boleh komen-komennya sahabat Kompasianer!

Tertanda.
Aa Rian (Indrian Safka Fauzi)
Cimahi, 19 Januari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun