Namun alangkah terkejutnya, perkumpulan tersebut menolaknya dengan keras, "Hai seandainya engkau orang beragama, kenapa engkau berkumpul bersama kami? Carilah kawan dari golonganmu, sungguh kamu terlalu suci untuk kami. Dan seandainya engkau berdusta, sungguh hinalah dirimu itu."
Karena tak terima dengan pengusiran itu, Si A mencari perkumpulan lainnya di lingkungan itu, dan mengucap hal serupa.
Namun naas, banyak perkumpulan yang mayoritas menolaknya. Karena menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan masyarakat Si A kunjungi, Si A diusir oleh masyarakat dan tiada seorangpun yang menerimanya.
Nah.
Apa yang kita petik dari kisah fiksi diatas?
Menyamaratakan frekuensi yang kita miliki kepada yang tidak satu frekuensi yang baru kita kenal, sejatinya bukan perbuatan bijak. Karena bisa bubar sebuah perkumpulan dari obrolan yang kita sampaikan, kalaupun tidak... kita yang kena usir.
Kalau kita mendapati lingkungan yang dimata kita derajat frekuensinya dibawah kita, alangkah baiknya kita membumi, karenanya kita bisa diterima lingkungan tersebut.
Berusaha sebaik mungkin memahami beliau semua, tanpa ikut terjerumus pengaruh negatif (jikapun ada) dengan penuh kehati-hatian.
Tak perlu repot-repot menyatakan siapa kita. Biarlah beliau yang ada dilingkungan tersebut yang menilai siapa kita yang sesungguhnya.
Biar beliau yang mencari tahu siapa kita dari orang-orang terdekat dan mengenal jati diri kita, karena toh kita baru kenalan dengan beliau semua.
Kalau sudah tahu tentang kita, sementara kita bergaul berkumpul dengan siapapun walau frekuensinya dibawah kita, maka orang yang kita dekati itu otomatis akan kagum dengan kerendahan hati kita.
"Betapa mulianya diri seorang yang lebih tinggi derajatnya setelah kami mencari tahu tentang dirinya. Ia mau bergaul dengan kita yang berlumur kekurangan ini." Terucaplah dalam hati beliau semua yang menaruh hormat pada kita. Indah bukan?
Dengan kerendahan hati kitalah... kita dapat diterima semua kalangan masyarakat... dan membumi selama-lamanya.