Mohon tunggu...
Ria Mi
Ria Mi Mohon Tunggu... Guru - Menulis memotivasi diri

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayah, Bagaimana Kabarmu di Alam Barzah?

14 Oktober 2020   23:18 Diperbarui: 14 Oktober 2020   23:21 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terasa darahku beku. Kulihat ayah membiru, bibirnya pucat. Slang terlepas. Aku menangis. Tapi segera kutelepon dokter. Segera juga kubawa ke rumah sakit. Masih ada harapan sampai rumah sakit napas ayah masih ada. Alhamdulillah tak henti harap-harap cemas ini. Petugas rumah sakit juga sigap.

Seharian saja bapak dirawat di sini. Sore boleh pulang. Ketika aku bertanya pada dokter apa tidak opname, menurut dokter yang merawat ayah hanya butuh istirahat.

Sebulan ayah sehat tanpa keluhan walau demikian pagi sore tetap kuminta perawat dekat rumah untuk mengontrol kesehatan beliau. Pejuang hidupku. Yang kuingat   dari ayahku ketika sakit di hari hari terakhir, selalu saja punya pesan untukku di buku. Ketika aku mau berangkat sekolah aku selalu dipanggil lewat lambaian tangannya. Ini membuat aku setiap mau berangkat harus cek buku pesannya ayah apa ya hari ini?

Suatu  hari ayah berpesan, dalam tulisan di buku, "Nduk aku lik ganok umur tanduren ning mburi omah", artinya jika bapak meninggal minta di makamkan di belakang rumah. Hatiku benar-benar sedih. Terasa aku ingin tumpahkan tangisku tapi aku tak ingin yang lain sedih. Pesan kusimpan sendiri dalam buku catatanku yang biasa kugunakan menulis.

Minggu berikutnya, ketika solat isyak ayah masih salat sendiri. Pakai tongkat beliau mengambil wudhu. Saat perawat datang memeriksa kesehatan ayah, ayah menulis sebuah pesan, "Pak Hartoyo, setelah ini saya sudah tidak mau dibawa ke rumah sakit, nanti pak Hartoyo saja yang melepas slang saya ya" begitu tulisan ayah kurang lebih ketika saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Perawat itu mengangguk. Dan menjawab, "Iya pak nanti saya yang melepas, yang penting luka dan sakitnya Bapak sudah sembuh."

Malam hari ketika pukul dua dini hari, setelah kami ganti slang napas. Ayah memanggil kami semua untuk berkumpul di kamar beliau. Waktu itu aku masih menggendong bayi kecilku Rizki. Adik perempuanku yang ragil disuruh mengaji alquran. Adiku yang laki-laki diciumi, tanganku dipegangnya erat.

Sampai dua putaran pembacaan surat yasin kira-kira pukul tiga pagi, terasa tanganku seperti tergetar oleh listrik kecil, dari telapak tangan ayah kurasakan gerakan napas yang berjalan menyusuri telapakku yang kian detik kian melemah. 

Tak kusadari hingga pukul setengah empat ayah seperti tertidur, kurasakan dengan telapakku di depan slang napasnya sudah tak ada lagi hembusan. Kami panik, suamiku memanggil perawat, adiku lelaki memanggil ustad dekat rumah.

Saat ustad datang menyampaikan bahwa ayah telah tiada, sudah pergi untuk selamanya. Begitu juga kata perawat, kemudian dilepaslah slang napas ayah, rasanya tak ada lagi yang bisa kucurahkan selain doa dan air mata.

Subuh, pahlawan kami semua, telah pergi. Senyum ikhlas dari wajah ayah tampak sekali. Keikhlasan yang terpancar dalam menghadapi maut, telah mengajari kami untuk mengikhlaskan beliau kembali ke paseban jati.

Slang napas telah dilepas oleh perawat. Kurasakan seperti sebuah kebebasan ayah dalam bernapas di alam yang baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun