Di era media sosial, ada berbagai teknik yang digunakan oleh politisi untuk membangun citra yang positif. Teknik-teknik ini mencakup storytelling, visualisasi data, dan penggunaan influencer. Storytelling, atau penceritaan kisah pribadi, sering digunakan oleh politisi untuk menyampaikan pesan mereka dengan cara yang lebih emosional dan mudah diterima oleh audiens. Penelitian oleh Indonesian Journal of Political Studies (2023) menunjukkan bahwa politisi yang mampu menceritakan kisah pribadi mereka atau pengalaman hidup yang relevan dengan masyarakat cenderung lebih mudah mendapatkan simpati publik.
Selain itu, penggunaan infografik yang menarik di Instagram atau platform lain dapat membantu menyederhanakan isu-isu politik yang kompleks agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum. Misalnya, dalam kampanye Pemilu 2019, banyak politisi yang menggunakan infografik untuk menjelaskan kebijakan ekonomi mereka atau membandingkan kinerja pemerintah dengan pemerintah sebelumnya.
Penggunaan influencer juga menjadi strategi yang populer dalam kampanye politik di media sosial. Influencer, yang memiliki pengikut yang banyak di platform seperti Instagram atau YouTube, sering kali dimanfaatkan untuk memberikan dukungan terbuka kepada kandidat tertentu. Hal ini memberikan citra bahwa politisi tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki pengaruh besar di kalangan anak muda.
Tantangan Kepercayaan Publik
Salah satu tantangan terbesar dalam komunikasi politik di era media sosial adalah mempertahankan kepercayaan publik. Disinformasi dan hoaks yang tersebar di media sosial sering kali merusak citra politisi, bahkan jika konten tersebut tidak berdasarkan fakta. Selain itu, politisi yang terlalu fokus pada pencitraan sering kali dianggap tidak otentik atau tidak serius dalam menjalankan tugas mereka.
Penelitian dalam jurnal Global Perspectives on Media Trust (2023) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media sosial sebagai sumber informasi politik hanya sebesar 45%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memiliki potensi besar untuk kampanye, masyarakat tetap skeptis terhadap kebenaran informasi yang disampaikan melalui platform ini.Â
Kesimpulan
Pencitraan politik di era media sosial telah mengubah lanskap komunikasi politik di Indonesia. Media sosial memberikan peluang besar bagi politisi untuk menjangkau masyarakat secara langsung dan membangun citra yang positif. Namun, tantangan seperti disinformasi, polarisasi, dan kurangnya otentisitas tetap menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, untuk menciptakan komunikasi politik yang sehat, politisi perlu mengintegrasikan strategi pencitraan yang otentik dengan kebijakan yang substantif.
Masyarakat juga perlu meningkatkan literasi digital mereka agar mampu memilah informasi yang benar dan relevan, serta tidak terjebak dalam jebakan hoaks dan disinformasi yang sering beredar di media sosial. Masa depan komunikasi politik di Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana semua pihak---politisi, media, dan masyarakat---dapat bekerja sama untuk memanfaatkan media sosial secara bertanggung jawab.
Demokrasi yang kuat hanya dapat terwujud jika komunikasi politik dilakukan dengan transparansi, integritas, dan penghormatan terhadap kebenaran. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu, baik politisi maupun pemilih, untuk memahami bagaimana media sosial bekerja, dan untuk tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak jelas kebenarannya. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa komunikasi politik tidak hanya menjadi alat pencitraan semata, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Referensi