Namun, penggunaan TikTok dalam kampanye politik juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah algoritma platform ini yang sering kali memprioritaskan konten yang menghibur dan viral, sementara pesan-pesan politik yang lebih substantif seringkali terabaikan. Hal ini dapat mengurangi kualitas diskusi politik di media sosial, dan mengarah pada pemahaman yang dangkal mengenai isu-isu penting.
2. Dampak Pencitraan Politik terhadap Persepsi Publik
Politik yang Lebih Dekat dengan Rakyat
Salah satu dampak positif dari penggunaan media sosial dalam kampanye politik adalah kemampuan untuk menciptakan kedekatan antara politisi dan rakyat. Media sosial memberikan kesempatan bagi politisi untuk berinteraksi dengan masyarakat secara langsung dan tanpa filter, yang memungkinkan mereka untuk menjawab pertanyaan, mengklarifikasi kebijakan, dan menyampaikan pesan mereka dengan cara yang lebih personal.
Survei oleh Civic Media Lab (2023) menunjukkan bahwa 72% responden Indonesia merasa lebih terhubung dengan politisi melalui media sosial dibandingkan dengan melalui media tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki potensi untuk memperkuat ikatan antara pemimpin dan pemilih, terutama di kalangan generasi muda yang lebih cenderung menggunakan platform-platform ini untuk mendapatkan informasi politik.
Sebagai contoh, banyak politisi yang memanfaatkan fitur live streaming di Instagram untuk melakukan sesi tanya jawab dengan masyarakat. Ini memungkinkan audiens untuk mengajukan pertanyaan secara langsung kepada politisi, yang kemudian dapat memberikan jawaban secara spontan. Interaksi semacam ini menciptakan kesan transparansi dan keterbukaan yang sulit dicapai melalui media massa tradisional seperti televisi atau radio.
Polarisasi Politik yang Meningkat
Namun, tidak semua dampak dari pencitraan politik di media sosial bersifat positif. Salah satu efek samping yang signifikan adalah peningkatan polarisasi politik. Algoritma media sosial cenderung memperkuat bias konfirmasi dengan menampilkan konten yang sesuai dengan pandangan politik pengguna. Penelitian dari Harvard Kennedy School (2022) mengungkapkan bahwa media sosial seperti Facebook dan Twitter telah memperburuk polarisasi politik di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Polarisasi politik ini dapat terlihat jelas dalam konteks Pemilu 2019, di mana kampanye di media sosial seringkali diwarnai dengan narasi yang provokatif dan memecah belah. Konten yang bersifat emosional, seperti video yang memperlihatkan kebohongan atau manipulasi informasi, seringkali lebih mudah viral dan mendapatkan perhatian daripada konten yang berfokus pada kebijakan substansial. Hoaks dan disinformasi yang tersebar luas melalui media sosial juga memperburuk hubungan antara pendukung kedua calon presiden, menciptakan polarisasi yang tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi juga merembet ke dunia nyata.
3. Strategi Pencitraan yang Efektif dan Tantangannya
Teknik Pencitraan yang Populer