Tapi ingatkah kita? Di tempat yang telah kita tancapkan paku amarah tadi, ada hati yang berlubang. Mungkin bisa memaafkan. Tapi tak bisa melupakan begitu saja. Butuh waktu untuk menambal lubang tersebut walaupun hasilnya tak indah dan menampakkan bekas.Â
Entah kenapa orang-orang sering mengaitkan emosi dengan amarah, padahal emosi itu  menurut Richard G. Warga dalam bukunya Personal Awareness: A Psychology of Adjustment , yaitu senang, sedih, cinta, takut, dan marah.
Sangat normal jika memiliki kelima emosi tersebut, karena kita adalah manusia. Namun yang salah adalah menempatkan rasa marah yang kurang tepat.Â
Dulu saya punya teman yang marah sama saya, padahal yang bikin dia marah perkataan teman yang lain.Â
Anak saya juga pernah, sepulang sekolah, marah sama saya tanpa sebab. Saat dia mulai tenang, dia mulai cerita, kalau dia kesal sama temannya yang tidak mengembalikan bukunya.Â
See. Seringkali bahkan kita jadinya menyakiti orang yang tak ada sangkut pautnya dengan masalah kita, hanya karena dia mau mendengar.
Di kantor ada masalah, pulangnya istri jadi sasaran kemarahan. Istri sedang kesal karena uang belanjanya tidak cukup lagi, akhirnya anak yang jadi korban.Â
Yup, betapa mudahnya ketika rasa itu datang kita mengorbankan orang-orang yang kita sayang.Â
Padahal jika marah itu di tempatkan pada tempatnya, marah juga bermanfaat. Marah ketika melihat agamanya diganggu seperti yang dicontohkan para sahabat nabi.Â
Marah ketika negaranya dijajah, seperti yang dicontohkan para pahlawan, sehingga Negeri ini merdeka. Jauh banget ya membayangkan, kalau begitu bayangkan saja, kalau kita ditindas tapi hanya diam saja. Mungkin kita akan mati terbunuh. Tapi ketika kita marah dan melawan maka kita bisa selamat. Bukankah orang yang cerdas adalah orang yang bisa mempertahankan haknya? Maka marahlah demi menjaga hak diri sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H