Mohon tunggu...
Humaniora

Menyoal Vonis Jessica

27 Oktober 2016   23:51 Diperbarui: 28 Oktober 2016   00:05 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tentang rasionalisasi yang saya dapatkan sebelum hari pembacaan putusan…

konon di satu maghrib yang cukup iseng karena belum ada ojek yang mau nganter pulang, berkunjung lah saya ke meja salah satu senior yang kerap dinobatkan sebagai kamus hukum berjalan. disampaikan oleh yang bersangkutan bahwa hari ini, Kamis 27 Oktober 2016, sidang putusan Jessica akan dilaksanakan.

berhubung ngga ngikutin tapi penasaran karena kasus ini bener-bener jadi sorotan media sampai disiarin langsung terus sidangnya (walaupun sebetulnya ngga penting-penting amat juga menurut saya–eh ngga penting tapi ditulis di blog yak hehe. tapi coba deh dipikir; ngaruh ke hidup kita juga ngga. sedangkan terdakwa koruptor yang tuduhannya merugikan negara yang mana kita sebagai warganya termasuk yang secara ngga langsung kena imbas, disiarin live biasa cuma pas pembacaan putusan). maka saya tanya sama senior ini….*

(A)bon: bang, menurut abang putusannya gimana? bebas apa bersalah? (well, kalau sama bos saya yang lama, kemungkinan bakal diomelin nih nanya beginian karena bisa dituduh trial by the press. yah untung sekarang saya udah bukan wartawan yhaaa, jadi nanya juga tendesinya iseng doang hehehe)

(S)enior: diputus bersalah. tebakan gue kalau ngga 17 tahun, vonisnya 15 tahun penjara

A: lah kok gitu? bukannya buktinya ngga jelas?

S: hakim ngelihat dari tingkah laku

A: hah? kok gitu? itu kan cuma petunjuk

S: nah iya petunjuk

A: (dalam hati saya baru nyeletuk, “oiya yak? lah itu gue jawab sendiri. petunjuk kan emang termasuk alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP”)

S: *ngejelasin ulang soal petunjuk termasuk alat bukti*

A: *bengong pasang muka dodol dan sebel sama diri sendiri karena pikun*

S: kita break down lagi ya… di KUHAP itu alat bukti yang sah apa aja?

A: paling atas keterangan saksi

S: oke, untuk yang itu emang bisa dibilang ngga dapat. yang kedua? keterangan ahli kan? (mungkin si abang bosen nunggu saya yang jawab jadi langsung jawab sendiri :( ) …di situ jaksa abis-abisan. dia hadirin ahli ini lah ahli itu lah…

A: tapi kan bang, pihak Jessica juga abis-abisan tuh ngeluarin ahli

S: jaksa juga abis-abisan nangkis…. pihak Jessica bilang dapat video yang dianilisis oleh ahli IT nya dengan permintaan resmi ke media. jaksanya pinter. mereka konfirmasi ke media-media yang dimaksud, dan jawaban dari media itu adalah nihil. di situ dinilai ada kebohongan (lihat berita terkait di sini)

A: wow *suatu ekspresi murni kaget karena beneran ngga ngikutin perkembangannya*

S: selanjutnya soal ahli psikologi yang dihadirkan kuasa hukum jessica. disebutkan bahwa yang bersangkutan adalah ahli psikologi UI. tapi belakangan justru ada keberatan dari (Fakultas) Psikologi UI; dekannya membantah kalau ahli yang dihadirkan dalam persidangan tersebut adalah ahli dari Fakultas Psikologi UI. memang benar bahwa yang bersangkutan adalah alumni Psikologi UI, tapi tidak benar keterangan bahwa yang bersangkutan pernah bekerja di sana. (berita ini, bacanya di sini)

A: ooooooh… iya iyaa….

Well, percakapan tidak berhenti sampai di situ; kami masih lanjut membahas mengenai politik persidangan… tapi setidaknya sampai di situ lah logika saya menangkap kenapa akhirnya Jessica dinyatakan terbukti bersalah dan divonis pidana penjara selama 20 tahun (walaupun masih belum final dan mengikat); jaksa berhasil dengan keterangan yang diberikan ahli-nya, dan hakim mendapatkan petunjuk dari perilaku Jessica.

Di akhir percakapan itu saya masih sempat ragu, dan dengan sotoynya masih tetap bilang “tapi kan bang….. bukti fisik (yang saya maksud adalah keterangan saksi dan barang bukti yang bisa jadi petunjuk atau dibuatkan semacam visum et repertum nya) tetep ngga cukup kuat????”

si senior dengan sabar menjawab, “iya sih. itu memang yang masih menjadi perdebatan; banyak orang yang juga berpikir Jessica akan bebas karena buktinya meragukan. dan memang ada nilai yang sering kita denger juga kan? lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang tidak bersalah. kita lihat saja bagaimana besok.”

setelah mengamini nilai tersebut, percakapan pun ditutup ketika ada abang ojek yang mau nganter saya pulang. terima kasih abang uber… eh salah, maksudnya terima kasih abang senior :”)

pertanyaan saya sekarang, seandainya Jessica tidak bertingkah laku sebagaimana yang ditunjukkan selama persidangan dan kuasa hukumnya tidak terlihat cukup keras kepala, apa hukuman Jessica akan lebih ringan ya (mengingat, sependek ingatan saya itu 20 tahun adalah angka tertinggi untuk pidana penjara sebelum “penjara seumur hidup”)???

*redaksional percakapan tidak mungkin akurat 100% karena saya jelas-jelas ngga sedang nyalin transkrip yang saya dapatkan dari alat perekam

p.s.: tulisan ini sebelumnya sudah sempat saya publikasikan di blog saya riaerizal.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun