Seperti saat saya melaksanakan shalat Idul Adha di suatu masjid. Di sana saya menemukan sesuatu yang baru. Tentu saja bukan pada tata cara pelaksanaan shalatnya, melainkan pada aturan yang ditetapkan oleh pengurus masjid bagi para jamaah.
Yakni adanya kewajiban bagi setiap jamaah yang ikut melaksanakan shalat Idul Adha untuk mengenakan masker. Selain itu, mereka juga dianjurkan untuk saling menjaga jarak sekalipun dalam keadaan shalat, sehingga kewajiban tentang perlunya merapatkan shaf bagi para jamaah tidak berlaku lagi.
Demikianlah yang terjadi saat ini. New normal merajalela di sana-sini sebagaimana Corona yang masih saja bergentayangan hingga saat ini. Sebuah keadaan yang benar-benar baru bagi kita untuk hadapi.
Yang dulunya (pra Corona) untuk keluar rumah kita masih bisa dengan bebasnya memilih tempat mana yang akan kita kunjungi, kita masih bisa menentukan kafe mana yang akan menjadi tempat tongkrongan kita, masih bisa dengan bebasnya bercipika-cipiki dengan sahabat yang sudah sangat lama tidak berjumpa dengan kita, dan berbagai deretan kebiasaan lainnya yang pada masa pandemi seperti sekarang ini tidak normal lagi bagi kita untuk lakukan.
Sekarang semuanya sudah berubah secara drastis. Tidak lagi sama dengan yang lalu-lalu. Corona datang merasuki sendi-sendi kehidupan kita, seolah-olah beserta dengan membawa sebuah kabar duka "wahai sekalian manusia, tidak lama lagi kalian akan bersedih dan meratap sepanjang hari."
Alih-alih memilih kafe mana yang akan kita jadikan sebagai tempat tongkrongan, untuk mengadakan perkumpulan secara langsung saja kita harus dengan sembunyi-sembunyi, sebagaimana adanya peraturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang digaungkan oleh pemerintah. Apalagi untuk berpeluk-pelukan dengan para sahabat, jangan mimpi deh.
Saya kemudian teringat dengan guyonan seorang teman. Ia berkata kepada saya "Bro, kalau saya pikir-pikir ya, Corona ini sebenarnya layaknya seorang pemerkosa. Ia menelanjangi watak kita yang tersembunyi selama ini dengan tanpa ampun. Seperti Jumat kemarin, saya tiba-tiba jadi orang yang suka marah-marah. Jiwa kesalehan saya meronta-ronta lantaran kegiatan jumatan saya jadi terbengkalai karena wabah ini."
Spontan saya terkejut mendengarnya. Bisa-bisanya ia berpikiran sejauh itu. Baru kali ini saya mendengar langsung perkataan sememikat itu dari mulutnya.
Saya kemudian merasa seolah-olah memperoleh sebuah pencerahan, memantik keinginan saya untuk merenungi apa yang dikatakannya itu.
Saya melihat kesadaran yang dimiliki oleh teman saya itu agaknya memang benar adanya. Yang selama ini kita teramat merasa yakin dengan mantap akan kebaikan yang kita miliki. Merasa memiliki iman yang kokoh dalam menghadapi setiap masalah yang ada, Â namun saat Corona datang menyerang semuanya malah berbicara sebaliknya.
Kita justru merasa dirugikan dengan kehadiran wabah yang begitu menyebalkan ini, karena membuat seluruh aktivitas sosial dan keagamaan kita terbengkalai sepenuhnya.