Mohon tunggu...
RIA ANISA
RIA ANISA Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Penulis kaku dan lugu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keberanian Petarangan {Cerpen Minggu Pagi}

13 Februari 2023   15:13 Diperbarui: 13 Februari 2023   15:18 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Ria Anisa

 

"Ibu ... Satya tidak mau pergi sekolah lagi"

"Ibumu sedang pergi ke pasar" jawab Pak Zainal, kakek Satya yang sedang duduk santai membaca sebuah buku di serambi samping rumah. "Kenapa cucuku tidak mau sekolah?".

Sembari melepas tas yang digendong, Satya mengambil posisi duduk di sebelah kanan kakeknya. Raut wajah kusut dan suara yang berat menyampaikan sinyal emosi siswa SMAN 8 Bekasi Timur itu sedang tidak baik-baik saja.

"Masalahnya kenapa tidak mau sekolah? Kakek belum menemukan kehutanannya"

Satya menjadi bingung, mencerna berulang kali kata kehutanan yang diucapkan oleh kakeknya. "Sepertinya tidak ku singgung soal hutan"

"Tadi emosi, sekarang bingung?" tutur kakek berusia 64 tahun itu sambil menepuk bahu cucunya. "Kehutanan itu pelesetan dari kata alas-an, hutan Bahasa jawanya alas le. Setelah bingung emosinya hilang ya?".

Menanggapi humor garing kakeknya, Satya hanya menyeringai. Letupan emosi di dadanya sudah berangsur stabil. Rasa bingung memadamkan amarahnya. Kebingungan berhasil mendinginkan kepala yang semula mendidih.

"Gitu aja kok repot" tutur Zainal.

Kembali, Satya merasa terjatuh dari ketinggian ekspektasi. Prediksi akan kecemasan dan pembelaan dari ibu yang telah ia bayangkan sirna. Selama perjalanan pulang, emosi ia tahan dalam bendungan yang seyogyanya akan ia luapkan kepada sang ibu. Belum lagi berjumpa dengan sang ibu, emosi itu kini mengering tak tersisa. Dendam yang mengalir bagai aliran lava dalam aliran darahnya, kini beku tanpa nyala. Kata-kata semula berjubel memenuhi kepalanya, sekarang barisan kata itu kocar-kacir. Habis akal dirasakan oleh Satya mendebat kakeknya.

Menangkap kecemasan cucunya, mantan tentara itu mengusap kepalanya. "Kamu itu keturunan darah Petarangan, kudu tangguh le!".

Satya semakin kebingungan, "keturunan Petarangan?" gumamnya dalam hati.

Menyadari kebingungan cucunya, Zainal menyiapkan energi untuk berkisah. Diseruputnya kopi di hadapannya, buatan Mira, Ibu Satya. Cerita dimulai dari silsilah keluarga. Kakek buyut Satya berasal dari lereng Gunung Sumbing, Temanggung. Dirincikan olehnya nama-nama bukit di sekitar wilayah kaki gunung itu.

"Keturunan Petarangan harus mewarisi kekuatan ayam. Ayam moyang kita mampu memenangkan pertempuran dengan ular"

Satya mempertanyakan ucapannya tersebut. Sulit dicerna logika anak muda itu, meragukan keniscayaan kekuatan ayam. Cina melambangkan kekuatan hewan dengan naga, Thailand memilih gajah. Kali pertama bagi Satya mendengar ayam dipilih sebagai sumber filosofi kekuatan wilayah.

Serius Zainal menceritakan asal usul Desa Petarangan, tempat kelahirannya dan nenek moyangnya. Desa itu takkan ada bila ayam peliharaan Kiai Tari, pendakwah islam mampu mengalahkan ular besar peliharaan Pak Dalman Moksa. Sang ayam, sang pemenang kembali ke petarangan atau sangkar, maka nama desa itu dinamakan Desa Petarangan sebagai simbol kekuatan dan kemenangan. Diperkirakan bahwa Zainal keturunan Kiai Tari ketujuh.

"warisilah kekuatan ayam moyangmu"

"Tak mungkin ayam bisa kalahkan ular kek!"

"Kalau mitos ini dari Eropa kau akan percaya bukan?"

Zainal menyayangkan bagaimana generasi muda mengikis mitos yang sebenarnya kaya akan filosofis. Mungkin benar pemikiran Satya, dalam siklus rantai makanan ayam adalah salah satu mangsa ular, tetapi kemenangan ayam itu sebagai simbol bahwa ular yang memiliki konotasi hewan berbahaya dan tak terkalahkan mampu dikalahkan oleh seekor ayam, hewan peliharaan yang tidak memiliki riwayat pembunuh.

"Bila kamu mau mewarisi kekuatan ayam itu, kamu bisa mengalahkannya, ketakutanmu" pesan sang kakek kepada cucunya dalam menghadapi perundungan. Meski bahu bapak empat anak itu tak lagi kekar, otot telah menggelambir namun ketangguhan jiwa tak luntur.

Ada hal dirasa berbeda oleh Satya, terbiasa dia mendengar teori perundungan dari ilmuwan dunia, Barbara Coloroso, kini ia harus mencari senjata baru dari cerita rakyat kaki Bukit Botorono, tanah kelahiran moyangnya.

Referensi : Cerpen Koran Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, 12 Februari 2023 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun