Sendal tertinggal di bandara
Seorang anak pada umumnya memiliki kedekatan emosional dengan kedua orangtuanya. Atau salah satu diantara mereka, entah dekat dengan ayahnya atau ibunya. Akupun demikian, kalau aku lebih dekat dengan ayahku. Ayahku bagiku adalah pahlawan, banyak pengalamannya.Â
Berbagai pekerjaan yang pernah ia jalani diantaranya: bertani, beternak sapi perah, beterak ayam daging, jualan bakso, penjaga vila di Pacet, merantau bertani di Sumbawa, penjaga kandang ayam petelur.
Sewaktu muda ayahku juga aktif dalam kegiatan di kampung, walau mungkin pada saat itu ayahku kurang mengerti kalau organisasi pelaksana kegiatan merupakan organisasi terlarang. Ayahku hanya tertarik karena kegiatan kepemudaannya yang sangat maju.
Masih pada saat muda ayahku juga pesepak bola. Nama besar kesebelasannya masih bergema hingga sekarang di desa kelahiranku, Kesebelasan Pandawa Lima. Bahkan ayahku pernah bertanding mewakili kabupaten Kediri.
Untuk berbagai urusan yang menyangkut ke-pemerintah-an, ayahku sangat terampil dan tak pernah menyerah. Bahkan demi pengobatan kakakku (tahun 2008) ayahku rela mengurus Jamkesmas sampai ke kota kabupaten yang jaraknya sekitar 20 km menggunakan sepeda ontel kesayangannya.
Sudah banyak makan asam garam kehidupan, itulah ayahku. Dan semua dilakukannya dengan selalu tersenyum.
Selama merantau, hampir setiap tahun aku menyempatkan diri pulang kampung. Tapi saat pulang liburan Juni 2019, aku sangat terpukul melihat ayahku ternyata terlihat sudah sangat tua. Kalau rambut ayahku biasa di semir sehingga tampak dominan hitam, tapi bulu halus di tangannya terlihat dengan jelas mulai memutih.Â
Aku jadi sempat ragu apakah ayahku mampu melakukan perjalanan ke Kotamobagu, sebuah kotamadya di Sulawesi Utara. Perjalanan ini sudah kurencanakan agar ayahku melihat sendiri gubuk kecilku dan tempat kerjaku di tanah rantau.
Setelah kupertimbangkan akhirnya kami berangkat juga. Tengah malam kami berangkat dari rumah karena keberangkatan pesawatnya pagi. Karena sampai bandara Juanda-Surabaya masih subuh, kami istirahat dahulu. Tentu aku mencarikan tempat duduk untuk ayahku.
Sambil menunggu waktu sesekali kuperhatikan ayahku. Dalam diam hatiku sebenarnya sedih melihat ayahku terlihat kelelahan perjalanan apalagi masih subuh dan tentu bercampur mengantuk.