Mohon tunggu...
Andriani
Andriani Mohon Tunggu... Lainnya - rindu situasi kembali normal

Sedang mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sendal Tertinggal di Bandara

11 September 2021   15:15 Diperbarui: 11 September 2021   15:15 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: ayahku di bandara Sam Ratulangi Manado. Dokumentasi pribadi) 

Sendal tertinggal di bandara

Seorang anak pada umumnya memiliki kedekatan emosional dengan kedua orangtuanya. Atau salah satu diantara mereka, entah dekat dengan ayahnya atau ibunya. Akupun demikian, kalau aku lebih dekat dengan ayahku. Ayahku bagiku adalah pahlawan, banyak pengalamannya. 

Berbagai pekerjaan yang pernah ia jalani diantaranya: bertani, beternak sapi perah, beterak ayam daging, jualan bakso, penjaga vila di Pacet, merantau bertani di Sumbawa, penjaga kandang ayam petelur.

Sewaktu muda ayahku juga aktif dalam kegiatan di kampung, walau mungkin pada saat itu ayahku kurang mengerti kalau organisasi pelaksana kegiatan merupakan organisasi terlarang. Ayahku hanya tertarik karena kegiatan kepemudaannya yang sangat maju.

Masih pada saat muda ayahku juga pesepak bola. Nama besar kesebelasannya masih bergema hingga sekarang di desa kelahiranku, Kesebelasan Pandawa Lima. Bahkan ayahku pernah bertanding mewakili kabupaten Kediri.

Untuk berbagai urusan yang menyangkut ke-pemerintah-an, ayahku sangat terampil dan tak pernah menyerah. Bahkan demi pengobatan kakakku (tahun 2008) ayahku rela mengurus Jamkesmas sampai ke kota kabupaten yang jaraknya sekitar 20 km menggunakan sepeda ontel kesayangannya.

Sudah banyak makan asam garam kehidupan, itulah ayahku. Dan semua dilakukannya dengan selalu tersenyum.

Selama merantau, hampir setiap tahun aku menyempatkan diri pulang kampung. Tapi saat pulang liburan Juni 2019, aku sangat terpukul melihat ayahku ternyata terlihat sudah sangat tua. Kalau rambut ayahku biasa di semir sehingga tampak dominan hitam, tapi bulu halus di tangannya terlihat dengan jelas mulai memutih. 

Aku jadi sempat ragu apakah ayahku mampu melakukan perjalanan ke Kotamobagu, sebuah kotamadya di Sulawesi Utara. Perjalanan ini sudah kurencanakan agar ayahku melihat sendiri gubuk kecilku dan tempat kerjaku di tanah rantau.

Setelah kupertimbangkan akhirnya kami berangkat juga. Tengah malam kami berangkat dari rumah karena keberangkatan pesawatnya pagi. Karena sampai bandara Juanda-Surabaya masih subuh, kami istirahat dahulu. Tentu aku mencarikan tempat duduk untuk ayahku.

Sambil menunggu waktu sesekali kuperhatikan ayahku. Dalam diam hatiku sebenarnya sedih melihat ayahku terlihat kelelahan perjalanan apalagi masih subuh dan tentu bercampur mengantuk.

Saat chek in sudah dibuka, aku mengajak ayahku untuk chek in. Saat itu aku berjalan lebih dahulu sambil mendorong troli barang dan ayahku mengikutiku. 

Saat aku menengok ayahku, aku terkejut karena melihat ayahku bertelanjang kaki tidak memakai sendal. Spontan kubilang "loh pak, sendal e mana?" 

Ayahku menjawab,  "O iyo lali (lupa)!" sambil tersenyum. Untung kami baru berjalan sekitar sepuluh meter. Ayahku segera berbalik mengambil sendalnya di tempat kami duduk tadi.

Setelah chek in kami mencari makan dahulu di dalam bandara. Walau harganya agak mahal tapi biarlah yang penting ayahku nyaman. Ini adalah awal liburan ayahku di Manado, khususnya di Kotamobagu selama sembilan hari.

Lega rasanya impian mengajak orang tuaku liburan ke Manado (yang waktu itu diwakili ayahku karena keterbatasan dana) akhirnya terwujud. (Apalagi satu bulan setelah itu aku memutuskan meninggalkan Kotamobagu dan pulang ke kampung halamanku).

Namun pengalaman melihat ayahku lupa memakai sendal benar-benar mengusik relung hatiku, menyadarkanku bahwa ayahku sudah sungguh tua. Bahkan hatiku diliputi rasa cemas jangan-jangan ayahku sudah mulai pikun.

Ayahmu yang selama ini baik-baik saja, mengurus semua kebutuhan dan keperluan keluarga dengan tanpa mengeluh bahkan sebaliknya selalu gembira, bahkan seringkali kamu yang tidak mengangkat telfonnya karena terus menanyakan pasangan hidup, kini membutuhkan perhatianmu lebih dari sebelumnya.

Terima kasih Tuhan, Engkau menyadarkanku pada saat itu agar aku lebih memperhatikan kedua orang tuaku. Sehatlah terus bapakku Petrus Juki dan emakku Christina Rahayu.

Malang, 20 Agustus 2021
Andriani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun