Politik luar negeri merupakan suatu kebijakan atau langkah yang diambil suatu negara dalam mengatasi berbagai isu atau permasalahan dalam lingkup internasional. Politik luar negeri sangat erat kaitannya dengan kebijakan. Dua elemen ini merupakan seperangkat proses yang tidak dapat di pisahkan.
Kebijakan luar negeri suatu negara mencerminkan kebutuhan domestik yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk politik domestik dan internasional. Faktor politik dalam negeri seperti kelompok kepentingan, opini publik, dan media massa memainkan peran penting dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan terkait kebijakan luar negeri.
Salah satu elemen politik domestik yang sangat penting adalah kelompok kepentingan, yang diartikan sebagai sekelompok warga negara yang berupaya memengaruhi kebijakan pemerintah ( R. Meissner, 2015 dalam chatrine dan Yohanes 2022).
Kelompok kepentingan berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan opini atau pandangan mereka kepada pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan juga dapat menjadi bentuk tekanan, yang berpotensi menimbulkan tantangan baru bagi para pembuat kebijakan dalam mengimplementasikan keputusan yang telah diambil.
Kelompok kepentingan juga dapat memengaruhi keputusan dalam kebijakan luar negeri, yang sering kali didorong oleh tujuan tertentu yang ingin mereka capai melalui berbagai tindakan yang dilakukan. Menurut teori kepemimpinan yang disampaikan oleh Margaret G. Hermann dan Joe D. Hagan, Pandanga serta interpretasi seorang pemimpin dapat memengaruhi pengambilan keputusan dalam kebijakan internasional dan politik domestik.
Peran pemimpin sangat penting dalam menafsirkan kebijakan luar negeri, karena mereka harus mampu merespons tekanan domestik secara efektif. Sebagai aktor utama dan strategis, pemimpin beroperasi dalam kerangka "two-level game", yang menghubungkan politik domestik dengan kondisi internasional. Dalam konteks politik domestik, pemimpin menghadapi dua tantangan utama: membangun koalisi pendukung untuk menjaga otoritas atau bersaing dengan kelompok oposisi untuk mempertahankan legitimasi.
Sedangkan menurut Teori persuasi elit politik yang dikemukakan oleh Snyder menyatakan bahwa elit politik memanfaatkan isu-isu etnis untuk mencapai tujuan politik mereka. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa para pemimpin politik atau kelompok elit menggunakan identitas etnis sebagai alat untuk memengaruhi opini publik atau memperoleh dukungan politik. Isu etnis dipolitisasi agar sesuai dengan kepentingan politik tertentu, seperti memperkuat kekuasaan, membangun aliansi, atau meraih kemenangan dalam pemilihan. Manipulasi isu etnis ini bisa menimbulkan konflik sosial atau ketegangan antar kelompok jika tidak dikelola dengan bijak.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman baik dalam lingkup budaya, etnis dan agama sebagai negara yang memiliki mayoritas penduduknya menganut agama Islam tentunya hal ini menjadi salah satu isu sentral yang kerap kali di jadikan sebagai salah satu alat bagi para elit politik untuk menarik minat masyarakat untuk mencapai tujuan politiknya. Sebagai negara yang memiliki berbagai perbedaan hal ini dapat dijadikan keunggulan Indonesia dikancah dunia. Di sisi lain, hal ini juga menjadi tantangan bagi Indonesia karena besarnya populasi dengan latar belakang yang beragam membawa identitas serta kepentingan yang berbeda-beda. Meskipun masyarakat yang beragam secara etnis dan terintegrasi dengan baik menjadi harapan, kenyataannya ada beberapa kelompok yang menolak hal tersebut.
Dalam kebijakan politik luar negeri sering kelompok kepentingan seringkali mendominasi adanya pengaruh dalam pembentukan kebijakan. Kebijakan yang di ambil tentunya sangatlah beragam salah satu contohnya adalah dalam kebijakan kerjasama yang sering kali di lakukan oleh Indonesia dalam bidang investasi dan ekonomi.Â
Peran kelompok kepentingan dapat terlihat dari adanya Ratifikasi perjanjian kemitraan ekonomi komperhensif antara Indonesia dengan EFTA dalam studi kasus komoditas kelapa sawit.Minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas utama dalam sektor pertanian di Indonesia. CPO menjadi produk yang sangat penting karena tingginya tingkat konsumsi dan produksi. Hal ini disebabkan oleh beragam manfaatnya, seperti sebagai bahan utama pembuatan minyak goreng dan biodiesel, yang membuat permintaan terhadap CPO terus meningkat di pasar global (Arsyad et al., 2020). Produk-produk olahan yang dihasilkan dari CPO memainkan peran penting dalam perdagangan internasional, meskipun penggunaannya juga turut menyumbang emisi gas rumah kaca (Arsyad et al., 2020). Selain itu, CPO memiliki kontribusi besar dalam mendukung ekspor nonmigas, menyediakan lapangan kerja, dan mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia (Arsyad et al., 2020).
Pembuatan CPO di Indonesia ini akan di ekspor ke berbagai negara terutama eropa, Rata-ratapertumbuhan ekspornya sebesar 11,2%per tahun berdasarkan data Biro TenagaKerja Statistik tahun 2018. Namun dalam usaha Ekspor ini Indonesia mengalami beberapa hambatan yakni adanya pemberhentian penggunaan minyak sawit yang dinilai dapat merusak lingkungan di negara-negara eropa, hal ini tentunya pada akhirnya menghambat Indonesia dalam mengekspor minyak sawit ini. Dengan permasalahan ini kelompok kepentingan banyak terlibat dalam bentuk kerjasama dan perundingan yang di lakukan komoditas ekonomi sawit di Indonesia dengan EFTA. Kelompok kepentingan dalam hal ini berperan secara signifikan dalam mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia. Hubungan antara politik internasional dan domestik saling memengaruhi serta tidak dapat berjalan secara terpisah. Organisasi non-pemerintah dalam negeri juga memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan luar negeri. Misalnya, kelompok kepentingan di Swiss yang bersikap kritis terhadap CPO Indonesia berhasil mendorong pemerintah Swiss menunda ratifikasi perjanjian IE CEPA dengan Indonesia. Sebagai negara yang menghormati nilai-nilai demokrasi, Swiss tidak bisa mengabaikan penolakan tersebut, yang didasarkan pada perlindungan minyak nabati lokal dan kepedulian terhadap isu lingkungan global.
Di sisi lain, kelompok non-pemerintah di Indonesia aktif mendukung para negosiator melalui advokasi serta menyediakan data penelitian terkait CPO guna memperbaiki reputasi produk ini di pasar EFTA. Namun, kelompok penentang CPO di Swiss terus mengemukakan narasi negatif, seperti kerusakan lingkungan, yang berpotensi memengaruhi keputusan EFTA untuk membatalkan perjanjian. Sementara itu, kelompok pendukung CPO Indonesia mengedepankan pandangan bahwa Indonesia adalah mitra dagang potensial yang penting bagi Swiss, khususnya dalam sektor minyak nabati.
Mereka juga memperingatkan bahwa menolak perjanjian perdagangan bebas dapat mengancam stabilitas ekonomi Swiss. Pada akhirnya, hasil referendum di Swiss sesuai dengan kesepakatan awal (win-set) yang telah dirumuskan, memungkinkan Swiss untuk meratifikasi perjanjian IE CEPA. Hal ini memberikan dampak positif pada citra minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional, khususnya Eropa. Kendati demikian, pemerintah Indonesia tetap perlu memastikan keberlanjutan industri sawit dengan merumuskan kebijakan yang mendukung produksi secara berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H