Supir bus meminta maaf berkali-kali setiap akan berhenti dan mengambil penumpang. Penumpang yang padat luar biasa seperti bus kota Jakarta tetap tenang. Seperti biasa, senyap tidak ada suara hanya sesekali suara sepatu bergeser. Dan sayup-sayup suara penyiar televisi menyiarkan berita melalui handphone seorang bapak. Mesin karcis tidak berfungsi, namun penumpang tertib membayar saat turun. Air mata saya mengering. Hati saya tersentuh dan nyaman.
Arah berlawanan mulai padat merayap. Lampu merah di beberapa tempat tidak berfungsi. Sementara bus yang saya tumpangi berjalan lancar, bisa jadi karena melaju ke pusat kota. Jam tangan menunjukkan pukul 18.30. Pejalan kaki memenuhi trotoar. Jalan tol tampak ditutup. Tidak ada kerusuhan. Toko-toko dan restoran tampak tetap buka.
Akhirnya Stasiun Gotanda. Lembaran uang seribu yen yang saya siapkan untuk membayar karcis ditampik supir bus. Sudah cukup, katanya mengangguk-angguk. Oh, Jepang.
Antrian bus di depan stasiun betul-betul panjang entah berapa kilometer. Pejalan kaki pun tumpah di sepanjang jalan. Hati saya mulai bernyanyi. Jari kaki saya tiba-tiba terasa berubah menjadi jempol semua! Rumah sudah di depan mata. Berharap membersihkan badan dan tidur terlentang.
Namun saya memutuskan untuk ke kedutaan menemui suami. Rindu luar biasa. Dan syukurlah suami dan teman-teman menyambut dengan penuh cinta. Mimik mereka tak kan terlupa. Suami setengah berteriak, "Dari mana Bunda?" Dan saya yakin nada suara itu penuh rasa syukur. Terimakasih Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H