Mohon tunggu...
Ruli Hapsari
Ruli Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga biasa yang mencoba menjadi ibu luar biasa untuk anak.

Lulus dari jurusan bahasa yang sekarang fokus mengurus anak.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sama Apa Lagi? Kajian Pragmatik Sedikit Menyinggung Marketing

13 Januari 2022   15:36 Diperbarui: 13 Januari 2022   17:13 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Sama apa lagi kak?"

Dalam transaksi digital, tentu pebelanja tidak akan pernah mendengar pertanyaan ini karena komunikasi yang dilakukan melalui aplikasi belanja membatasi peluang untuk itu.  Sebaliknya, pertanyaan ini sering terdengar dalam transaksi jual beli face-to-face. Biasanya pertanyaan semacam ini sering diutarakan sesaat setelah pengambilan keputusan barang/jasa mana yang akan dibeli atau sesaat sebelum melakukan pembayaran. 

Dalam perspektif pemilik bisnis, pertanyaan persuasif ini adalah salah satu bagian dari SOP perusahaan yang tujuannya adalah untuk mendorong konsumen melakukan penambahan pembelian. Akan tetapi,  dalam perspektif konsumen, pertanyaan "sama apa lagi?" seringkali cenderung  menjadi terlalu agresif dan membosankan. Artikel ini hanya akan membahas pertanyaan "sama apa lagi?" dalam ranah kajian bahasa konsentrasi pragmatik, dengan topik bahasan strategi kesopanan yang terdiri atas 10 maksim dan bagaimana kajian ini bersinggunan dengan emotional marketing.

Teori Strategi Kesopanan

                Dalam buku yang berjudul The Pragmatics of Politeness, Leech menambah maksim dari 6 menjadi 10 maksim. Berikut 10 maksim tersebut.

1. Maksim kedermawanan. Contoh "Silakan duduk dan diminum tehnya", "Kali ini saya yang bayar makannya", "Kapan-kapan mampirlah ke rumah kami."

2. Maksim kebijaksanaan. Contohnya "Saya boleh cicip sedikiiit saja?"

3.  Maksim penerimaan. Contohnya "Gaunmu indah sekali", "Kebunmu sangat tertata rapi"

4. Maksim kerendahan hati. Contohnya "Duh, aku memang bodoh. Jadinya agak lola memahami pertanyaan itu."

5. Maksim kewajiban (memaksimalkan kewajiban diri pada orang lain). Contoh, "mohon maaf", "terima kasih banyak."

6. Maksim kewajiban (meminimalkan penghargaan atas kewajiban orang lain terhadap diri sendiri). Contoh, "Tidak apa apa", "sama sama"

7. Maksim pendapat. A. Bagus ya dekornya

                                             B. Ya bagus sekali memang.

8. Opinion Reticence. Tidak memberikan pendapat yang berseberangan dengan mitra tutur. 

9. Feeling. Contoh, "Selamat atas promosi jabatannya", "saay turut berduka cita atas berpulangnya Ayahanda."

10. Feeling reticence. Contoh, A. Hai apa kabar?

                                              B. Oh baik. (padahal penutur B sedang tidak baik-baik saja, tetapi ia menyembunyikan perasaannya saat itu)

Untuk membantu pemahaman pembaca awam (yang berlatar-belakang non linguistik), maksim adalah batasan yang mempengaruhi perilaku komunikasi penutur (2014, hal 90). Berikut ini contoh dua tuturan dari seorang penutur yakni seorang kasir dalam situasi melayani konsumen yang mengantri untuk membayar.

Tuturan 1

Tuturan 2

"Mohon ma'af Ibu/Bapak agak menunggu lama. Ini petugas kasirnya kebetulan cuma 1 karena komputer yang lainnya sedang dalam perbaikan."

"Ada tambahan lain kak? Ini sedang ada promo beli roti Kasur 10, dapat gratis 1, mau kak?"

Perhatikan tuturan 1. Tuturan ini dihasilkan oleh penutur yang sangat memperhatikan maksim nomor 5 (maksim kewajiban). Dalam tuturan tersebut, penutur (kasir) lebih menitikberatkan pada mitra tutur, dalam hal ini konsumen. Ia merasa mempunyai kewajiban untuk meminta maaf pada konsumen atas kelemahan yang menjadi kesalahan dari pihak toko. Sederhananya, tuturan itu sangat mementingkan orang lain, bukan mementingkan diri sendiri. Coba bandingkan dengan tuturan 2, jelas berseberangan dari tuturan sebelumnya, sangat memfokuskan pada diri sendiri dan tidak memerdulikan orang lain. Sekali lagi, prinsip dasar dari teori strategi kesopanan yang digagas oleh Leech adalah MULIAKAN ORANG LAIN, bukan MULIAKAN KAMI DULU yang menjadi kecenderungan strategi komunikasi pelaku bisnis saat ini.

Teori Leech tentang strategi kesopanan ini sesungguhnya bersinggungan dengan kajian emotional marketing. Manakala konsumen merasa dihargai, dimuliakan, dan diuntungkan perasaannya, tentu konsumen akan merasa nyaman dengan brand tersebut. Kenyamanan inilah yang menjadi sub-perasaan bahagia. Ketika ada keterlibatan emosi yang masuk akal, maka perusahaan dapat dengan mudah membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen (Odekerken, 2018). 

Sederhananya, konsumen yang telah jatuh hati karena merasa dimuliakan cenderung akan rela melakukan pembelian ulang lagi di tempat yang sama di masa mendatang. Penulis sampaikan sedikit contoh kecil dari pengalaman pribadi penulis sendiri untuk menguatkan argumen ini. Beberapa tahun silam, anak penulis yang ketika itu berusia 3,5 tahun merengek untuk makan sarapan lagi di tempat yang kemarin kami pernah singgahi.  

Penulis bertanya "Mengapa Adik mau makan di sana lagi?". Jawabnya "Soalnya omnya itu baik banget, kemarin dia menyapa aku ramah".  Dari pengalaman ini, penulis menyimpulkan bahwa tanpa ada instruksi dari si penjual seperti "Terima kasih, ditunggu kedatangannya lagi", si penjual telah berhasil memikat hati konsumen dengan keramahan dan perhatiannya.  

Upaya yang dilakukan pun tanpa menggembar-gemborkan kualitas produk makanan yang dijualnya. Hanya dengan basa basi sederhana "Hai Adik..mau berangkat sekolah ya? Sekolah dimana ini?" ternyata mampu membuat konsumen terikat secara emosional.  Intinya, jika topik persoalan difokuskan pada mitra tutur (baca: konsumen) dengan cara memaksimalkan perasaan positif dan meminimalkan/meniadakan perasaan negatif pada mitra tutur, maka itu dianggap sopan menurut Geoffrey Leech. Jadi, basa basi persuasif "sama apa lagi kak?" mungkin perlu dievaluasi lagi efektivitasnya.  

Referensi 

Leech, Geoffrey. (2014). The Pragmatics of Politeness. USA: Oxford University Press.

Odekerken, Milou. (27 June 2018). Emotional Marketing: How to Use Emotions in Your Marketing. Accessed from https://neurofied.com/emotional-marketing-use-emotions-marketing/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun