Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta setelah lulus kuliah dari sebuah PTS di Jogja, saya menerima pernyataan tak terduga dari seorang 'senior'. Begini :
'Mau ngapain ke Jakarta?' tanya sang senior.
'Yah ... mau cari kerjaan, mas.' jawab saya dengan bingung.
'Kalau mau cari kerjaan sih banyak ... tapi yang mau nggaji yang ga ada.'
'Maksudnya?'
'Kerjaan dikantor gue banyak banget, loe bisa bantu-bantu kalau mau. Tapi, boss gue ga mau nggaji loe karena kantor gue ga butuh pegawai baru.'
'Hehehe ...' , saya tersenyum kecut. 'Terus gimana, mas?'
'Mau ngapain ke Jakarta?' tanya sang senior.
'Cari kerja, mas.' jawab saya mantap. Pasti saya tidak salah jawab lagi.
'Loe lulusan apa?'
'Sarjana Teknik, mas.'
'Hmm ... di Jakarta sudah banyak sarjana yang nganggur. Loe nambah-nambahi sesak aja. Emang loe kira, gampang cari kerja di Jakarta?'
'Insya Allah, mas. Saya akan mencoba berusaha dan berdoa.'
'Hahaha ...' Sang senior tertawa keras banget.
'Kenapa, mas? Saya jawabnya salah ya?'
'Enggak salah ... cuma kurang tepat saja. Itu jawaban standar dari pengangguran terdidik. Seorang sarjana yang mencoba mengadu nasib di Jakarta. Jangan kuatir, loe punya banyak teman yang mempunyai pikiran sama.'
'Maksudnya?' tanya saya dengan keras. Jujur, saya tersinggung dengan ucapannya yang terasa menghina banget.
'Hahaha ... Loe marah? Bagus ... Bagus ... hahaha.'
Saya diam, mencoba menenangkan diri dan menahan emosi.
'Loe bawa duit banyak dari kampung?'
'Ada sedikit, dikasih orang tua sebagai bekal hidup di Jakarta.'
'Hmm ... Ok, gue ga bakal nanya berapa jumlah duit yang loe bawa. Kira-kira, loe yakin akan dapat kerja dalam waktu berapa lama? Sebulan? Dua bulan? Tiga bulan? Atau ... satu tahun? Loe yakin bisa dapat kerja sebelum uang loe habis buat makan, transportasi dan ... rokok. Gue lihat loe juga 'ahli hisap' yang parah. Uang loe mesti bakal habis buat beli rokok.'
Saya masih diam.
'Hahaha ... pasti gue yakin, loe ga bakal bisa jawab. Hahaha.'
(Ini mau ngomong apa sih?)
'Hahaha ... Bingung? Gini ... dengar baik-baik ya. Jakarta itu keras buat orang-orang yang lembek dan mudah putus asa. Tapi, Jakarta adalah sahabat dan saudara yang baik banget buat orang-orang yang ulet, gigih dan pantang menyerah. Sekarang, semua terserah loe sendiri. Loe boleh memilih menjadi orang golongan pertama atau kedua.'
'Terus?'
'Cari kerja di Jakarta itu susah-susah gampang. Banyak orang yang berbulan-bulan bahkan sampai tahunan yang setia menjadi pengangguran di Jakarta dan akhirnya menyerah kalah untuk pulang kampung. Tapi, ada juga yang cepat mendapatkan pekerjaan. Itu adalah takdir yang menjadi rahasia Tuhan. Kita wajib berusaha tapi Tuhan yang berhak menentukan hasilnya.'
'Maaf, mas ... ini ngomongin apa?'
'Belum ngerti juga? Loe bilang, loe bawa sedikit duit dari ortu di kampung.'
'Iya.'
'Sekarang, mungkin loe masih bisa nyantai karena masih pegang duit. Terus, gimana kalau duit loe sudah habis? Loe mau minta kiriman dari kampung? Ihhh, loe ga malu? ... Loe mau minta duit ama gue? Ok, kalau gue ada duit ya akan gue bagi. Tapi, gue ga mau terus-terusan jadi badan sosial buat loe yang pengangguran. Loe harus berusaha cari kerja atau cari duit sendiri.'
Saya diam.
'Kalau loe mau hidup di Jakarta ya loe harus bisa melihat peluang. Buka mata dan telinga lebar-lebar. Tapi ingat, loe harus berusaha dengan jujur dan di jalan yang benar. Gue ga mau punya teman atau saudara yang jadi maling di Jakarta.'
Sang senior menatap saya dalam-dalam.