Gelap gulita ditengah malam yang begitu pekat, hamparan angin kecil pun berdatangan dari berbagai sisi sebelah Barat, Utara, Timur, dan Selatan. Angin pun tak bisa menentukan arah, kebimbangan menjadikannya resah dan gelisah menentukan arah untuk kepentingan penikmat malam.
Disaat ini angin seperti merasa bersalah untuk mementukan arahnya, kebimbangannya datang ketika api-api masih saja menyalah. Ia sadar ketika mengarahkan ke tempat api-api berkumpul maka dampaknya akan menjadi besar. Akibatnya ia tak mau melihat para penikmatnya malah mencaci makinya karena perbuatannya.
Kiranya bergitu semenjak beberapa minggu belakangan ini para pemburu berita menjadikan objek kabut asap menjadi halaman terdepan di media mereka. Disaat berkembangnya kabar ini beberapa halaman media sosial pun ikut ambil bagian melahirkan hastag #melawanasap.
Negeri sedang mengalami kegelapan di beberapa kota dikarenakan kabut asap yang datang tiba-tiba. Sejumlah daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi tempat asap berkumpul sekedar berkenalan dengan masyarakat sekitar. Asap menjadi satu-satunya yang disalahkan dalam hal ini, padahal ia hanya partikel yang tak berwujud, tapi bisa mematikan secara perlahan.
Padahal bukan pertama kali kabut asap terjadi di negeri, hampir beberapa kali kabut asap menjadi bencana yang sudah di rencanakan untuk hadir menemani hari-hari masyarakat sekitar tanah pemilik modal. Sepertinya pelajaran dari masa lalu menjadi hal yang selalu terlupakan di negeri yang indah dengan panoramanya.
Kritik keras pun dilontaran dari beberapa pihak terhadap penanganan yang kabarnya sedikit melambat atau mungkin saja masih ada tugas yang lebih penting untuk menambah tabungan khas negara agar kabut asap lebih cepat terselesaikan.
Seperti ini kah negeri? Disaat satu persatu keluarga harus kehilangan seorang yang disayangi akibat kabut asap yang terus menjalar. Akibat dari cuaca yang begitu ekstrem untuk kesehatan pernapasan. Bagaimanapun kehilangan seseorang lebih sakit dari pada harus kehilangan harta yang berlimpah. Haruskah kita terus berpikir ketika kabut asap tak bisa diajak kompromi untuk sekedar menghilang beberapa hari.
Walaupun masih saja dari berbagai pihak tanpa berpikir panjang ambil bagian untuk membantu sesama. Bahkan, meskipun hanya lewat doa beberapa menit dimanfaatkannya setelah beribadah kepada Sang Maha Kuasa. Berharap ada petunjuk dari Sang Pemilik Kuasa Tertinggi.
Gerakan peduli asap melalui masker pun terus di lakukan dari berbagai komunitas-komunitas sosial yang ada di indonesia. Mungkin saja pabrik masker bakal menjadi kewalahan untuk memproduksi masker tiap harinya.
Tanah yang indah dan subur selalu menjadi sasaran para pemilik modal, bahkan tanpa berpikir panjang mereka selalu menyiapkan strategi dan menyiapkan pasukan untuk segera menyelesaikan masalah. Masalah yang selalu mengganggu pemasukan khas perusahaan sang pemilik modal, tanah yang tak dimanfaatkan menjadi sasaran utama mereka agar kiranya tanah tak lagi ditumbuhin pohon-pohon yang tumbuh dengan sendirinya. Supaya mereka bisa dengan leluasa memanfaatkan tanah menjadi ladang pemasukan perusahaan.
Siapa yang salah? pastinya tak ada penjahat yang akan mengakui kesalahannya, kalau pun ada mungkin saja para penjahat telah diberi hidayah dari Sang Maha Kuasa. Sudah pasti pelakunya hanya pembakar yang bakal di masukkan ke jeruji, bukan otak dari penyuruh para pembakar.
Negeri masih saja menganggap hukum tak berlaku bagi pemilik modal terbesar di negeri ini. Dan negeri masih sajatak pernah belajar dari masa lalu dan mungkin saja tak mengingat masa lalu yang silam. Padahal telah jelas diatur oleh hukum itu sendiri, tak pandang bulu bagi siapa dan barang siapa yang melakukan tindakan melawan hukum.
Disaat kabut asap mejalar sebagian orang menyatakan untuk menjadikan ini merupakan bencana nasional, kalau kita teliti lebih lanjut tentang bencana nasional, artinya pemerintah siap untuk menanggung dan melepaskan semua beban dari pembakar sesungguhnya. Karena pada dasarnya bencana nasional itu diakibatkan alam yang tak bersahabat, apakah kita tetap yakin kabut asap itu bencana? Atau ada tangan usil untuk mengambil lahan besar milik negeri.
Akankah masih tetap menunggu sampai semua lahan habis terbakar dan menghabisi penduduk secara perlahan? Atau kita siap untuk kehilangan kembali jantung dunia yang selalu di jaga oleh para pecinta lingkungan?
Disisi lain mau tak mau pemerintah bukan hanya turun ke lapangan sekedar melihat, harus ada tindakan nyata untuk menghentikan api agar tak menjalar sampai menghabiskan pohon-pohon yang tumbuh dengan sendirinya. Sampai kapankah kabut asap berakhir dan tak terjadi lagi?
Diakhir tulisan ini saya tak mau menyalahkan siapa-siapa, lebih baik kita ambil bagian untuk membantu minimal lewat doa, agar kabut asap dapat terselesaikan dengan cepat dan para pemilik modal yang membuka lahan baru itu segera ditangkap dan diselesaikan dengan tidak memandang bulu terhadap apa yang telah dilakukan.
Semoga saja ini menjadi peringatan untuk terakhir kalinya, bahwa penyelesaiannya itu tak bisa menunggu, karena sesuatu yang datang tak selalu bisa berhenti untuk menunggu mendapatkan penyelesaian. Alangkah lebih baiknya lakukan secepatnya dengan alat seadanya dan kemapuan seadanya. Dan saya pikir dengan begitu kita tidak akan dipandang sebelah mata orang negara-negara lain dalam penanggulangan kabut asap ini.
Untuk Pulau Sumatera dan Kalimantan yang telah menyumbang pemasukkan negara lewat perkebunannya.
Â
#Melawanasap
#intelektualjalanan
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H