"Nyebut yang banyak ya, istighfar."
Tentu dong Bu Dokter, pastilah. Tapi karena dokternya ngomong langsung begitu, jadinya kok aku malah grogi gitu hahaha. Ngomongnya pakai nada agak tegang plus terburu-buru gitu, jadinya aku yang tadinya sudah santai jadi rada grogi lagi. Mana dokternya pakai topi pelindung lagi, hahaha. Topinya melindungi bagian wajah begitu, jadi aku membayangkan yang tidak-tidak yang mungkin saja bisa terjadi.
Jujur bagian paling sakit dari proses itu malah ketika aku dibius. Disuntik bius tiga kali di area gusi dan walau sebenarnya tidak sakit-sakit amat, tapi itulah proses yang paling sakit. Gusi serasa ditekan kuat-kuat dengan sensasi disuntik begitu, tapi rasanya agak beda dengan disuntik di kulit biasa. Setelah itu mulai mati rasa dan akhirnya peperangan dimulai.
Gigi digetok kuat-kuat seperti dipalu dan berusaha dicongkel. Selama proses itu aku merem terus jadi tidak lihat dokternya pakai alat yang seperti apa saja. Oh ya, dokter yang menangani ada dua. Mereka gantian melakukan macam-macam hal pada gigiku. Selama itu pula dokternya mengingatkanku untuk terus nyebut. Haduh, tambah bikin grogi aja hahaha. Pada akhirnya ketika kurasa gigi sudah tercabut, aku jadi lebih lega. Dokter akhirnya menyuruhku meludah. Takut-takut aku membuka mata dan agak lega ketika darah yang keluar cuma sedikit.
Setelah itu gigi disumpal pakai sesuatu seperti biasanya kalau habis cabut gigi, yang putih-putih padat seperti buntalan kapas itu. Habis itu dituliskan resep obat dan diberi wanti-wanti penanganan selanjutnya. Dan jika cabutan bermasalah dalam tiga bulan selanjutnya disuruh kembali lagi. Selama dibilangi itu kalau aku nggak ngangguk-ngangguk, ya ngomong yang kedengarannya seperti kumur-kumur.
Setelah menerima resep, mulutku rasanya penuh. Aku mengambil tisu dan memutuskan meludah di situ. Kenapa? Karena seperti firasatku, yang keluar memang ludah bercampur darah. Langsung deh aku ambil tisu banyak buat persediaan. Proses keluar ludah campur darah ini cukup lama, hingga lewat siang hari masih berlangsung.
Antre obat tidak pakai nunggu lama karena lagi sepi sekali. Para pasien masih pada sibuk di poli-poli, belum selesai diperiksa. Singkat cerita aku pulang. Daerah habis dicabut, termasuk pipi, masih mati rasa. Sambil jalan ke parkiran, aku berpikir, bagaimana ya seandainya kalau tidak dibius? Pasti sakit sekali. Dan tentunya aku juga mikir, kalau saja tidak ada KIS, berapa uang yang harus kukeluarkan, sementara pekerjaan saja masih belum tetap?
Terlepas dari banyaknya keluhan dari masyarakat, pada dasarnya program JKN-KIS berupaya untuk memberikan yang terbaik buat masyarakat. Aku, atau tepatnya kami, berharap untuk ke depannya BPJS makin berbenah diri untuk membuat masyarakat Indonesia lebih sehat dan lebih peduli pada kesehatan. Salah satu hal positif di penghujung tahun 2018 ini adalah aku sudah lebih peduli pada kesehatan. Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H