Baru- baru ini muncul di berbagai media, baik itu media elektronik maupun media cetak mengenai gagasan penolakan terhadap perda syariah dan perda injil oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI)yang diketuai oleh Grace Natalie. Sontak pernyataan penolakan terhadap perda syariah dan perda injil pun membuat perhatian publik.
Berbagai masyarakat mengecam pernyataan yang dilontarkan oleh  Grace Natalie tersebut dan bahkan ada pula yang melaporkannya kepada pihak kepolisian dengan dasar laporan bahwa Grace telah melakukan penistaan terhadap agama.
Sebagai ketua umum sebuah partai politik, tentu pernyataan ini merefleksikan apa yang menjadi poros perjuangan PSI yang digawangi oleh para pemuda ini. Sikap berani menyuarakan dengan lantang tersebut mendapat acungan jempol dari berbagai pengamat politik sebagai langkah yang berani dan dinlai sebagai langkah yang cukup progresif dibandingkan dengan partai  koalisi lainnya.
Sebagai contoh PDIP yang kerap kali menolak RUU terkait dengan Perda Syariah, penolakan yang dilakukan PDIP ini cenderung pada arah yang malu malu , mengingat PDIP pun perlu dukungan dari elektoral berbasis agamis.
Statmen yang dikeluarkan oleh PSI melalui Grace ini bukanlah tanpa dasar akan tetapi, hal ini berdasarkan temuan temuan yang terjadi di Lapangan yang kemudian disimpulkan oleh PSI bahwa perda- perda yang berlandaskan agama dianggap tdak sesuai dengan slogan bhineka tunggal ika dan spirit kebangsaan yang plural.
Pembentukan
Polemik mengenai Perda Syariah atau Perda Injil bukan hanya pada statmen yang dilontarkan oleh PSI saja, namun jauh sebelum PSI pun polemik serupa juga pernah terjadi. Jika ditinjau dengan kacamata politik hukum, dalam pembentukan sebuah hukum atau peraturan perundang- undangan tersebut tidak lepas dari unsur yang mengikutinya.
Artinya hukum lahir dari proses politik yang terjadi di dalam parlemen. Proses- proses inilah yang merefleksikan perbedaan latar belakang baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud), dan bahkan perbedaan agama. Proses- proses politik tersebut saling bersaingan satu dengan yang lain, baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang tersebesar (Mahfud MD, 2012).
Oleh karena itu melihat persoalan ini perlu dipilah antara hukum yang bebas nilai dan hukum yang bernilai. Hukum bebas nilai terjadi apabila hukum atau peraturan perundang- undangan telah ditetapkan oleh pejabat atau organ negara yang berwenang. Namun dalam pembentukannya hukum penuh dengan nilai karena melalui sebuah proses kompromi politik.
Apabila merujuk pada ketentuan pasal 237 ayat 1 UU Pemda, sebagai produk peraturan perundang- undangan pada level daerah, pada pokoknya mencerminkan: Pertama, seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, kedua harus mampu menampung kondisi khusus daerah atau potensi daerah, ketiga merupakan bentuk peraturan derivasi atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.
Adapun asas dari itu semua adalah pembentukan dan materi muatan perda harus tetap berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan kondisi yang beranekaragam suku, ras dan budaya maka sangat dimungkinkan perda- perda yang bernuansa syariah tersebut muncul, akan tetapi hal itu semua harus tunduk pada peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Sehingga data yang diperoleh bahwa perda syariah dan perda injil tidak mencerminkan nilai kebangsaan yang plural perlu dikaji kembali oleh Grace Natalie beserta dengan PSI, karena jika dilihat dari sudut pandang hukum peraturan perundang- undangan apabila bertentangan suatu perda, maka perda tersebut dapat dibatalkan.
Negara Religius
Fenomena yang berkaitan dengan statmen PSI tersebut mengingatkan kembali kepada kita sebagai bangsa Indonesia bahwa sebagai negara hukum Indonesia tidak lepas dari keberagaman dan keberagamaan. Hal ini dapat ditelusiri dari risalah sidang BPUPKI yang menempatkan ketuhanan sebagai sila pertama dari Pancasila.
Artinya Pancasila difahami sebagai landasan filosofi "hierarki piramidal" dalam merumuskan hukum (Mahfud MD;2012). Maka dalam praktiknya, nuansa religius ini dimasukkan ke dalam  alenia ketiga pembukaan UUD NRI 1945.
Bukan hanya UUD saja setiap peraturan perundang-undangan baik itu setingkat UU sampai Perda bahkan Perdes sekalipun terdapat irah- irah yang merefleksikan bahwa pembuatan nuansa religius yaitu Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Di luar itu, putusan pengadilan yang notabenenya adalah produk dari lembaga peradilan juga menggunakan frase "Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Inilah gambaran dari refleksi bahwa nuansa religiusitas tidak dapat dipisahkan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dipisahkan dengan nuansa persatuan, kebangsaan yang religius. Namun ada perlu digarisbawahi yaitu, sebagai negara Indonesia tidak pernah melatakkan agama sebagai dasar negara.
Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI yang menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara Hukum. Sehingga masihkah statmen yang menolak perda syariah dan perda injil ini atau bahkan perda- perda yang bernuansa religius?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H