Mohon tunggu...
Rully Raki
Rully Raki Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar STPM St. Ursula Ende

Penggiat Isu-Isu Sosial dan Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menanam Pohon dan Menanam Masa Depan (Gerakan Penghijauan Anak Muda Kota Ende)

4 November 2021   10:12 Diperbarui: 4 November 2021   10:23 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suhu udara kota Ende pagi hari itu sudah menunjukkan 29 derajat Celcius. Meskipun masih cukup pagi, di sekitar pukul 09.00 Wita, udara memang cukup terik. Umumnya demikian kondisi di wilayah timur Indonesia. Sinar matahari hampir selalu tidak pernah ramah penduduk.

Namun di terik yang cukup menusuk kulit, masih ada bara semangat di dalam dada sekelompok anak muda. Mereka tetap bersemangat menanam penanaman bibit-bibit pohon di kawasan yang luasnya sekitar 2 Ha.

Pagi itu adalah hari Sabtu 23 Oktober 2021. Di pagi itu, mereka memanam pohon pada kawasan Aebambu, yang terletak di utara kota Ende. Wilayah ini merupakan kawasan pekuburan dari dua Paroki Katolik di Kota Ende yakni Paroki St Marinus Pu´urere dan St Yoseph-Onekore di wilayah Keuskupan Agung Ende.

Agak jarang memang cerita tentang penghijauan yang di lakukan pada kawasan Pekuburan. Selama ini kegiatan penghijuan sering dibuat di wilayah terbuka yang gersang atau di kawasan hutan yang gundul. Penghijauan di pekuburan bisa menjadi sebuah gerakan baru dengan sasaran baru. Mungkin ini juga bisa membantu menghilangkan prejudice miring tentang pekuburan. Sebab, orang sering melihatnya sebagai yang tempat angker.

Alasannya gerakan ini cukup jelas sebagaimana alasan-alasan klasik dari program penghijauan. Penghijauan dibuat untuk mencegah banjir. Di kota Kabupaten Ende, isu ini memang cukup banyak dibicarakan. Itu demikian mengingat hampir setiap kali saat hujan besar dan dengan durasi waktu yang cukup lama, luapan dan genangan air selalu menjadi masalah.

Entah ini menjadi tanggungjawab siapa dan kapan masalah ini berakhir, belum ada tindakan yang lebih signifikan dan berkepanjangan ataupun yang lebih visioner berkaitan dengan problem ini. Karena, masalah ini juga merupakan masalah yang akan terus terjadi dan berhubungan dengan masa depan.

Langkah anak-anak muda yang adalah para mahasiswa dan mahasiswi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) St. Ursula, berkolaborasi dengan Anak Muda Claretian (AMC) sebagai anak muda Katolik Paroki Puurere serta kelompok Green Syurt`s dan Osisi dari Sekolah Menengah SMA Katolik Syuradikara, bisa menjadi pemantik yang baik untuk coba melihat lebih serius masalah ini. Para aktor penghijauan mungkin orang baru, target lokasinya juga baru tetapi fokus problem dan wacana ialah urusan atau lagu lama.

Beda Latarbelakang Namun Sama Tujuan

Cukup menarik untuk ditinjau, bahwa gerakan atau tindakan penghijauan ini beragam latar belakangnnya. Aksi yang mewujud dalam tindakan penghijauan ini bisa menjadi titik kulminasi dari varian tujuan dan kepentingan.

Mengutip Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, dalam Discourse Analysis Theory, situasi ini bisa dilihat hampir seperti sebuah nodal point sederhana. Macam-macam latar belakang, dikumpulkan bersama menjadi sebuah agenda bersama yang bisa berarti banyak untuk mereka yang terlibat bergerak. Di sini penghijauan jadi titik temu atau poin sentral yang bisa mendapatkan banyak makna dari para aktor yang mengeksekusinya (Laclau and Mouffe 1985: 112).

Multi intepretasi point sentral penghijauan itu muncul karena pada penelisikan lebih jauh, ada cerita dibalik kegiatan penghijauan itu. Bagi para mahasiswa gerakan ini dibuat sebagai salah bentuk konkret atau praktik dari matakuliah di Kampus. Kuliahnya tentang Gerakan Sosial dan Pembangunan.

Menggunakan prespektif teori Framming Process  (Bendford & Snow, 2000), gerakan penghijuan itu di-framming atau dibingkai dalam situasi dominan yang berkembang. Wacana itu sebenarnya yang cukup lama. Wacana itu berbicara tentang keresahan masyarakat akan peristiwa meluapnya air hujan yang sering terjadi di kota Ende. Salah satu penyebabnya ialah hilangnya daerah pepohonan atau juga daerah resapan karena pertambahan hunian dan semenisasi yang sudah terjadi selama 5 tahun terakhir.

Sementara, anak-anak muda Katolik Claretian mempunyai cerita dan latarbelakangnya sendiri. Pengakuan  koordinator lapangan pihak AMC, Ekawati, mengatakan bahwa gerakan ini berawal dari agenda lanjutan Workshop mengenai Linkungan Hidup dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende beberapa waktu yang lalu. Aplikasi nyata dari hasil workshop itu baru bisa dieksekusi pada kegiatan penghijuan bersama di Aebambu itu.

Lain lagi latar belakang cerita anak-anak muda dari SMA Syuradikara. Mereka kebetulan mengikuti kegiatan ini ketika salah dalam proses pengadaan bibit, bibitnya dibeli dilokasi dekat sekolah itu. Mengetahui adanya kegiatan yang baik ini, maka salah satu kelompok minat penghijauan pelajar dari sekolah ini, Green Syurt`s, ingin ikut bergabung dan menyumbang juga pengadaan bibit pohon bagi kegiatan ini.

Mungkin bisa lebih diketegorikan sebagai sebuah kebetulan, bahwa gerakan penghijauan itu akhirnya bisa mendapatkan banyak partisipan. Namun, ada hal yang baik dan sering pula terjadi dengan setiap kegiatan yang bertujuan baik. Bahwa apa yang menyangkut kebaikan, seringkali memperoleh bantuan dari semesta.

Selain itu, hampir menjadi kecenderungan anak-anak muda yang cepat terpengaruh oleh anak-anak muda yang lain. Jika pengaruhnya baik, maka mereka akan berpihak pada yang baik dan positif. Namun, hal sebaliknya bisa terjadi, jika dipengaruhi oleh hal yang tidak baik, maka buah sikap dan tindakan yang tidak baik itu yang akan muncul.

img-20211023-wa0024-618351c3b4ab2e48ce0cded2.jpg
img-20211023-wa0024-618351c3b4ab2e48ce0cded2.jpg
Lalu apa setelahnya?

Ada dua hal yang kemudian muncul setelah kegiatan penghijuan berjalan. Hal pertama ialah komentar-komentar tentang gerakan ini. Komentar diawali dengan tanggapan Pastor Paul Djeraman, CMF. Beliau adalah seorang rohaniwan Katolik dan pendamping anak-anak muda dari AMC.

Beliau mengatakan gerakan penghijauan itu merupakan salah satu aksi perwujudan dari mimpi "Ende Peduli Lingkungan." Yang luar biasa bagi beliau, bahwa gerakan ini merupakan gagasan dan eksekusi dilapangan dibuat oleh anak-anak muda sendiri. Dengan kegiatan ini, anak-anak muda sanggup menepis anggapan mereka kawula muda tidak peduli pada lingkungan dan masa depan bumi.

Kuncinya cuman satu, tandas beliau, anak- anak muda perlu terus memberi ruang. Ruang itu untuk berkreasi, melahirkan ide-ide bernas. Selain itu, percayakan kepada mereka untuk mengeksekusi ide-ide berlian itu. Menyuport dan memastikan bahwa program berjalan dengan baik adalah tugas pendamping. Akhirnya, Pastor Paul mengutip kata-kata Paus Fransiskus: "They are the Now of God." Anak muda adalah masa kini Allah.

Sementara itu, dari pihak mahasiswa sendiri, Echa Nusa dan Mira Rima, berujar kegiatan ini menunjukan kegiatan yang penting karena orang-orang muda bisa membantu mengurangi resiko bencana alam. Ini bisa jadi pembelajaran bahwa ada banyak hal baik bisa dilakukan oleh para mahasiswa. Para mahasiswa tidak akan jadi orang yang jalur hidupnya hanya pulang baik dari kost ke kampus atau dari kampus ke kost. Selain itu, kegiatan ini dapat memperindah lingkungan dan menunjukkan kecintaan anak muda terhadap alam dan lingkungan terutama memberikan manfaat membuat komplek pekuburan menjadi lebih teduh nantinya.

Selanjutnya sebagai koordinator lapangan, Ekawati berujar kalau anak-anak muda itu sebenarnya perlu diberikan ruang untuk berkreasi. Masalah yang selama ini dialami ialah kurangnya diberikan ruang dan wadah untuk itu. Mereka jadi bingung dan kadang sering melakukan hal yang tidak positif. Kegiatan ini dapat menunjukan kepedulian dan kontribusi anak muda bagi lingkungan hidup dan juga  bagi Gereja. Mengutip kata-kata Isa Almasih, dengan tindakan itu, anak-anak muda bisa jadi “terang dan garam bagi dunia.“

Hal yang muncul kedua ialah tentang harapan ke depan. Pertama, dengan gerakan ini, paling kurang secara tidak langsung bisa membantu menahan air. Selain itu, gerakan ini dapat menambah produksi oksigen serta memberikan kesejukan pun suasana hijau. Di masa yang akan datang, tindakan penghijauan ini pun datang bisa membantu memberikan wajah yang lebih segar bagi wilayah istirahat terakhir (pekuburan) mereka yang dimakamkan di sana. Pekuburan juga perlu dihijaukan sehingga yang meninggal bisa beristirahat dalam keteduhan alam. Apalagi itu akan menjadi rumah masa depan bagi banyak orang.

Hal kedua ialah gerakan ini tidak boleh menjadi gerakan mubazir atau sekedar selebrasi untuk sekedar selfie atau mencari nilai. Oleh karena itu, untuk mengawal keberhasilan program ini, para mahasiswa STPM dan AMC telah membuat pembagian kelompok untuk mengecek perkembangan bibit pohon yang telah ditanam.

Di tengah darai tawa karena kelakar-kelakar yang terlempar di tengah kegiatan, tentu terselip harapan di hati para aktor muda penghijauan ini, kalau pohon-pohon ini akan tumbuh dengan subur. Jika demikian, hal ini akan menjadikan kawasan Aebambu dan sekitarnya menjadi lebih hijau di masa yang akan datang. 

Namun yang juga tidak kalah pentingnya ialah menenam pohon itu dapat disamakan seperti menanam masa depan. Banjir mungkin hanya jadi wacana pemantik. Tetapi  masa depan generasi muda akan sangat bergantung pada kelestarain alam, salah satunya adalah ketersediaan tumbuhan hijau. Merawat alam berarti merawat masa depan. Dan, tidak perlu mengunggu orang lain, melakukannya. Kaum muda harus bisa mulai bergerak sendiri dari tempat ini dan masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun