Suatu ketika Rhet mendapatkan pertanyaan yang sulit sewaktu SMA. Tuhan yang maha sempurna dan maha atas segalanya, kenapa harus susah payah turun ke dunia. Harus rela segala menjadi manusia.
Jawaban nggak serta merta muncul. Hingga detik ini, detik di mana kejadian itu sudah terlewati selama lima belas tahun. Melewati segala arus dunia, diputarbalikkan iman yang berujung penyangkalan. Hingga harus melepas sebuah kehidupan agamis yang bau amis.
Tapi, bukan Rhet jika akhirnya setelah menyandang sebagai atheis, Tuhan itu berlalu begitu saja dalam hidupnya.
Oke ... ini bukan cerita sinetron ataupun sebuah narasi yang dibuat-buat, meskipun sedikit arah bercerita seperti buku karangan. Tapi, yang namanya penulis walaupun baru menyandang sebagai penulis maya; berbuat sesuai imajinasinya dalam bercerita dan tetap memandangkan arah lurus ke depan sesuai pengalaman. Yang pasti, membuat seefektif mungkin, agar yang baca nggak merasakan jenuh dan ngantuk berlebihan.
“Eloi, eloi, lama sabakhtani.” Sebuah kutipan yang sakral dari pernyataan Yesus ketika merasakan sakit luar biasa di atas kayu salib. Tapi bukan ini yang mau dijelaskan, karena terlalu panjang dan tugas pendeta untuk menjelaskannya.
Satu yang terlintas, benarkah Tuhan merelakan darah-Nya tercurah hanya untuk karya gagal-Nya --manusia-- yang sudah terjatuh ke dalam lubang dosa.
Wah beneran deh, si iblis yang Rhet juluki sebagai si bolis ini. Bener-bener pandai untuk menjerat kembali. Kebimbangan dan kebingungan mengombang-ambingkan Rhet yang notabene sebagai kristen KTP.
Singkat cerita ....
Melewati tekanan lima belas tahun. Dan langkahnya kini yang sudah berjalan baru dua tahun saja kembali ke altar-Nya. Rhet pun berdoa tanpa mengingat kejadian dari pertanyaannya yang sudah lama ia lupakan.
Saat berdoa tadi. Dengan santainya, Tuhan memberikan jawaban yang melenceng dari apa yang diminta dalam doanya.
Tiba-tiba diingatkan pada kisah Adam dan Hawa --nenek moyang umat manusia-- yang sudah melahirkan berjuta atau bermilyar manusia, mungkin juga lebih. Yang pasti Rhet tak pernah menghitung, dan ia pun tak pandai dalam matematika.
Adam yang telah melakukan pelanggaran. Memakan buah terlarang --buah tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat-- telah menjatuhkan dirinya dan juga seluruh keturunannya tenggelam dalam dosa.
Fatal ... Inilah yang terlintas di pikiran Allah waktu itu. Sudah dilarang, Hawa masih nekat mencicipi; Adam pun mau-maunya menikmati. Tapi whateverlah. Yang pasti jawaban itu benar-benar buat Rhet menjadi suatu hal yang lucu, yang bahkan tak pernah terpikirkan.
“Tuhan itu maha pengampun dan penyayang,” kadang sempat juga Rhet berpikir seperti ini. Tapi kenapa kok pelanggaran Adam nggak diampuni dari awal saja jika memang Tuhan pengampun dan maha penyayang? Jadi tidak perlu repot-repot manusia setiap hari bergelut dengan dosa. Yang kalau kita pikir dalam waktu 1x24 jam itu lebih banyak buat dosanya daripada kebaikan.
Hikmat pun dibukakan, bahwa memang jika hal itu mudah dilakukan oleh Tuhan yang maha pengampun, takkan ada yang namanya dosa. Gampang bukan, ampuni aja selesai, dan anak manusia nggak perlu repot-repot bersiasat untuk menghindari yang namanya dosa. Apalagi dosa terlarang, paling enak tuh ha ha ha.
Itulah kenapa, Yesus turun ke dunia. Dan memberikan jawaban yang begitu mudahnya bahkan tak pernah terpikirkan oleh Rhet. “Jika Tuhan maha pengampun, harusnya Ia bisa melakukan itu dari awal hingga tak ada lagi yang namanya SARA, sampai berujung keributan bahkan ideologi yang membutakan anak manusia.”
Dan kedatangan Yesus ke dunia ini, bukan hanya membawa perdamaian untuk manusia, namun juga untuk menyatakan cinta kasih Bapa pada anak-anak manusia, kerinduan yang hilang dari kehidupan manusia untuk mau menyelidiki suatu kebenaran, yang jawabannya terkadang di luar logika, bahkan terkesan seperti banyolan tapi tetap tak melenceng pada wacana yang sebenarnya.
Salam damai sejahtera...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H