Mohon tunggu...
Rheina Meuthia Ashari
Rheina Meuthia Ashari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Saya tertarik pada bahasan isu sosial budaya, Saat ini saya sedang dalam tahap belajar menulis artikel. Saya juga suka membaca buku dengan tema historical fiction dan self development.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sinergitas Masyarakat Adat, Kearifan Lokal dan Ekowisata

5 Desember 2022   03:10 Diperbarui: 6 Desember 2022   13:13 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksploitasi yang terjadi di kawasan ekowisata biasanya dilatarbelakangi oleh pembangunan yang semakin berkembang pesat sehingga menyebabkan kebutuhan pun akan semakin bertambah. Akhirnya, eksploitasi terhadap lingkungan alam di Kawasan ekowisata yang belum memiliki pengelolaan yang ketat tidak dapat terhindarkan. 

Faktanya, beberapa destinasi ekowisata hanya berusaha memenuhi keinginan wisatawan tetapi tidak melakukan perlindungan atau konservasi sebagaimana mestinya. Dalam pengelolaan suatu destinasi ekowisata, sering ditemui bahwa tujuan dan fokus dari pemerintah, stakeholder, dan masyarakat berseberangan satu sama lain. Dari sini kita dapat melihat adanya goncangan-goncangan yang terjadi di beberapa taman nasional yang berada di Indonesia. Kemajuan ilmu pengetahuan serta pemikiran rasionalitas terkait keuntungan ekonomi merusak keselarasan alam yang sebelumnya berjalan dengan  nilai-nilai ekologis dan kearifan lingkungan yang lokal.

Dampak yang ditimbulkan dari kerusakan ekologi tentunya akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan lindung tersebut. Masyarakat adat rentan termarginalkan dan keberadaannya terkadang tidak diakui. Masyarakat adat terkadang dianggap sebagai kelompok yang minim pengetahuan sehingga dalam pembangunan dan pengelolaan suatu Kawasan ekowisata masyarakat adat tidak memiliki keterlibatan yang besar. Tak hanya itu, hak kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam di suatu Kawasan ekowisata juga sering mengalami tumpeng tindih dengan pihak lain seperti Perhutani dan Balai Taman Nasional.

Indonesia seharusnya memiliki ketegasan dalam keterlibatan masyarakat adat beserta local wisdom dalam pengelolaan Kawasan ekowisata. Keterlibatan masyarakat adat dan implementasi local wisdom dilakukan bukan untuk mengesampingkan kebijakan pemerintah dan kepentingan stake holder lain. 

Akan tetapi, keterlibatan dibentuk untuk membangun hubungan yang saling bersinergi antara masyarakat adat dengan pihak lain yang berkuasa. Hal ini juga tertuang pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Pasal 10 ayat (2) mengenai pemberian ruang pada keterlibatan kearifan lokal pada Rencana Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Alam Hidup (RPPLH). Menurut Nopandry dalam tulisannya yang berjudul “Hutan Untuk Masyarakat Pemanfaatan Lestari Hutan Konservasi”, masyarakat adat  secara tradisional mempunyai kearifan lokal sebagai potensi dan kekuatan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan.

Kearifan lokal atau local wisdom yang dituangkan dalam pengelolaan Kawasan ekowisata akan menjadi modal besar untuk menciptakan masa depan yang cemerlang bagi Kawasan ekowisata di Indonesia. Contoh penerapan local wisdom pada pengelolaan Kawasan lindung terdapat di Taman Nasional Gunung Merapi. Taman Nasional Gunung Merapi  sudah memiliki hubungan positif yang kuat antara local wisdom dengan sikap konservasi masyarakat setempat.  

Menurut hasil beberapa penlitian, diungkapkan bahwa persepsi local wisdom memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pengambilan sikap konservasi masyarakat setempat. Salah satu contoh local wisdom yang diterapkan di Taman Nasional Gunung Merapi adalah pranoto mongso. Pranoto mongso adalah arahan kepada para petani untuk bercocok tanam dengan tetap mengikuti tanda-tanda alam yang dikaitkan dengan mongso atau musim yang sedang terjadi. 

Pranoto mongso juga memberi peringatan kepada para petani agar tidak melakukan eksploitasi terhadap lahan yang melewati batas-batas norma. Tak hanya itu, terdapat pula peringatan agar petani menghemat penggunaan air saat musim kemarau tiba dengan tetap membajak sawah sebagai bentuk konservasi terhadap tanah. 

Taman Nasional Gunung Merapi juga memiliki pohon keramat yang diberi nama Pohon Kalitulangan. Nama Pohon Kalitulangan dan label­-nya sebagai pohon keramat diberikan agar tidak ada yang berani menebang pohon tersebut. Hal ini disebabkan, Pohon Kalitulangan memiliki peran yang besar sebagai penahan air dan penyedia oksigen. Tak hanya pohon keramat, Taman Nasional Gunung Merapi juga memiliki lutung jawa yang dianggap sebagai hewan keramat. Anggapan lutung jawa sebagai hewan keramat didasari oleh eksistensi lutung jawa yang semakin melemah karena terancam punah. Tentunya hal ini akan membantu lutung jawa lebih terlindungi dari perburuan liar.

Selain  Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Baluran dan Gilimanuk ternyata juga menerapkan kearifan lokal milik masyarakat adat sebagai salah satu upaya pelestariannya. Selama ini masyarakat setempat hidup berdampingan dengan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini memiliki korelasi dan relasi yang kuat dengan kelestarian alam Hutan Baluran dan Gilimanuk. Salah satu mitos yang membawa pengaruh besar terhadap kepercayaan masyarakat adalah mitos mengenai Mbah Cuking. 

Mbah Cuking dipercaya sebagai seorang pertapa sakti yang pernah melakukan perjalanan panjang di Hutan Baluran. Semasa hidupnya, beliau dipercaya banyak memberikan ajaran terkait cara pelestarian lingkungan alam. Mitos Mbah Cuking ini hingga sekarang diyakini dan dipercaya untuk dijadikan pedoman hidup masyarakat adat setempat. 

Selain itu, Hutan Baluran dan Gilimanuk memiliki mitos Blok Candi Bang. Mitos ini tidak jauh berbeda dengan mitos Mbah Cuking. Mitos Blok Candi Bang bercerita tentang seseorang Bernama Datuk Syah yang dipercaya sebagai sesepuh masyarakat adat di daerah tersebut. Datuk Syah semasa hidupnya selalu mengajarkan nilai-nilai yang bijak dalam hal menjaga kelestarian dan kesuburan alam.

Kearifan lokal yang diterapkan di Taman Nasional Gunung Merapi serta Taman Nasional Baluran dan Gilimanuk menjadi bukti nyata bahwa masyarakat adat dapat memiliki pengaruh besar terhadap kelestarian alam. Pengaruh yang diberikan tidak kalah besar jika dibandingkan dengan orang yang memiliki latar belakang Pendidikan yang tinggi, misalnya para akademisi. Local wisdom dan lingkungan alam sudah seharusnya berjalan selaras dengan saling menjaga keberlanjutan satu sama lain. Taman nasional di Indonesia seharusnya menjalankan pengelolaan yang cukup baik dan efektif dengan turut melibatkan masyarakat adat. Pengelolaan dan pengambilan manfaat yang dilakukan terhadap Kawasan lindung diharapan dapat meminimalkan dampak yang mungkin akan terjadi.

Referensi:

Sinapoy, S. (2018). Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Moronene dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. HOLREV. Volume 2 Issue(2)

Okta Hadi Nurcahyono, & Dwi Astutik. (2018). Harmonisasi Masyarakat Adat Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial Pada Proses Harmonisasi Pada Masayarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur). Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 2(1), 1–12. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun