Pada akhir Desember 2024 lalu, publik gempar oleh peristiwa pembunuhan yang dilakukan anak berusia 14 tahun pada ayah dan neneknya. Selain itu sang ibu juga mengalami kritis karena luka yang sama. Kemudian berkaca kembali pada peristiwa di Palembang di mana jasad seorang gadis di bawah umur ditemukan di lokasi pekuburan Cina. Jasad tersebut adalah korban pemerkosaan dan pembunuhan, mirisnya tiga dari emapat pelaku tersebut adalah anak di bawah umur dan mungkin masih banyak kasus lain yang menyeret anak ke perilaku melanggar hukum.
Anak-anak maupun remaja, rentan bersinggungan dengan hukum baik itu sebagai korban maupun pelaku. Dalam sistem hukum di Indonesia khususnya hukum pidana, anak diklasifikasikan sebagai golongan rentan karena statusnya yang masih di bawah umur. Hal tersebut dikarenakan mereka masih belum memiliki kestabilan emosi maupun pengetahuan tentang hukum.
Dalam kerangka hukum Indonesia telah jelas diatur oleh undang-undang tentang rentang usia kedewasaan seorang anak di mata hukum. Pada pasal 1 ayat (3) yaitu anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berusia 12 tahun hingga 18 tahun. Sehingga jika anak berkonflik dengan hukum, maka penanganannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, penyelesaian kasus anak berkonflik dengan hukum (ABH) adalah melalui keadilan restoratif dan diversi sesuai pasal 1 ayat (7) UU Nomor 11 tahun 2012.
Selain itu, penanganan anak berkonflik dengan hukum juga tidak boleh sampai melanggar hak-hak anak seperti tertuang dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki prinsip mementingkan proporsionalitas pada anak yakni efek jera dari sanksi pidana itu sendiri tanpa mengabaikan aspek hak asasi anak.
Namun, pertanyaannya adalah apakah proses diversi tersebut masih sesuai dengan tingkat tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak saat ini? Mengingat beberapa tindak kriminal anak di bawah umur kurun waktu terakhir ada yang sampai menghilangkan nyawa korban. Penyesuaian perlu dilakukan tidak hanya untuk memberi efek jera bagi para pelaku, tetapi juga bagi anak-anak atau remaja lain yang memiliki potensi untuk melakukan tindak kriminal.
Teman saya pernah bercerita ketika anaknya mengalami pembulian dan mencoba menyelesaikan secara kekeluargaan dengan pembuli tersebut. Mirisnya, si pelaku yang notabene masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, berani mengancam teman saya akan datang membawa sajam ke rumahnya. Ketika ditanya apa tidak takut dengan hukuman penjara? Anak itu menjawab, kalau anak di bawah umur seperti saya tidak bisa dipenjara. Hal ini menunjukkan kurangnya rasa takut terhadap hukum pada anak-anak zaman sekarang. Sehingga mungkin perlu adanya evaluasi kembali dan revisi terhadap UU SPPA.
Meninjau Ulang UU SPPA: Mencari Keseimbangan Antara Perlindungan Anak dan Efek Jera
Fenomena meningkatnya kasus kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelaku memang menjadi perhatian serius. Di satu sisi, anak-anak adalah individu yang sedang dalam tahap tumbuh kembang, sehingga memerlukan pendekatan khusus dalam sistem hukum. Di sisi lain, tindakan kriminal seperti pembunuhan atau pemerkosaan yang dilakukan anak tidak bisa dianggap ringan, mengingat dampaknya yang luar biasa terhadap korban dan masyarakat.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) saat ini mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dan diversi untuk menyelesaikan kasus anak berkonflik dengan hukum (ABH). Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya celah yang membuat efek jera kurang terasa. Bahkan, beberapa anak pelaku kejahatan memanfaatkan perlindungan hukum ini untuk bertindak tanpa takut konsekuensi. Maka, diperlukan evaluasi dan penyesuaian agar UU SPPA tetap relevan dengan kondisi saat ini tanpa mengesampingkan hak anak, tapi juga memperhatikan sisi keadilan bagi korban.
1. Memperkuat Efek Jera Melalui Sanksi yang Proporsional
Salah satu tantangan dalam penegakan UU SPPA adalah memberikan sanksi yang cukup tegas untuk mencegah pengulangan tindak kejahatan tanpa melanggar hak anak. Hal ini dapat diwujudkan melalui:
- Rehabilitasi yang Wajib Disertai Edukasi Hukum: Anak pelaku kejahatan tidak hanya menjalani rehabilitasi psikologis, tetapi juga wajib mengikuti program edukasi hukum agar mereka memahami konsekuensi dari tindakan mereka.
- Pengawasan Ketat Pascadiversi: Anak yang menjalani proses diversi perlu diawasi secara ketat oleh lembaga terkait, dengan laporan berkala kepada aparat hukum dan orang tua.
2. Revisi Ketentuan Diversi untuk Kejahatan Berat
Saat ini, diversi wajib diterapkan dalam kasus anak yang terancam hukuman di bawah 7 tahun penjara. Namun, kejahatan berat seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau tindakan kekerasan yang berujung fatal perlu dikecualikan dari ketentuan ini. Revisi undang-undang dapat mengatur agar:
- Diversi hanya berlaku untuk kasus kejahatan ringan atau tanpa korban jiwa.
- Kasus berat tetap melalui proses peradilan pidana anak, dengan sanksi yang sesuai dan tetap mempertimbangkan hak anak.
3. Membangun LPKA di Setiap Daerah
Saat ini, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) belum tersedia di semua daerah di Indonesia. Oleh karena itu, setiap kabupaten/kota sebaiknya memiliki LPKA sendiri dengan fasilitas yang memadai, termasuk:
- Program Pembinaan Terintegrasi: LPKA harus dilengkapi dengan fasilitas pendidikan formal, pelatihan keterampilan, dan bimbingan mental.
- Pendekatan Kearifan Lokal: Pembinaan anak dapat disesuaikan dengan nilai-nilai lokal untuk membangun karakter yang lebih baik.
4. Melibatkan Orang Tua dan Komunitas
Peran orang tua dan komunitas juga sangat penting dalam mencegah anak berkonflik dengan hukum. Pemerintah dapat menggencarkan program:
- Pendidikan Parenting: Mengedukasi orang tua tentang cara mendidik anak dengan baik, termasuk menanamkan nilai-nilai moral dan hukum sejak dini.
- Kampanye Anti-Kekerasan: Menggerakkan komunitas untuk aktif dalam mendeteksi dan mencegah kekerasan atau perilaku menyimpang pada anak.
5. Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Aparat yang menangani kasus anak harus memiliki pemahaman khusus tentang psikologi anak dan pendekatan hukum yang humanis. Pelatihan dan sertifikasi khusus bagi aparat hukum perlu ditingkatkan agar mereka dapat menangani kasus anak dengan profesional dan adil.
UU SPPA adalah langkah progresif untuk melindungi anak dalam sistem peradilan, tetapi evaluasi dan penyesuaian tetap diperlukan agar hukum tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Penegakan hukum yang tegas, disertai dengan pembinaan yang mendidik, diharapkan tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga menjadi pembelajaran bagi anak-anak lain untuk menjauhi tindak kriminal. Dengan membangun LPKA di setiap daerah dan memperkuat sinergi antara keluarga, komunitas, dan pemerintah, masa depan anak-anak Indonesia yang lebih baik dapat diwujudkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI