Lengan Faiz tiba-tiba dicekal oleh tangan kekar. Pemuda ini menoleh. Dua orang pria menatap nanar ke arah Faiz. Salah satu dari mereka bertubuh kekar dan memiliki tato tengkorak di lengannya.
“Ini wilayah kami! Siapa yang kasih izin kamu buat markir di sini?” gertak pria bertubuh kekar tadi, cengkraman tangannya pada lengan Faiz semakin kuat.
“Ma–maaf, Bang. Saya tidak tahu kalau harus izin Abang dulu,” jawab Faiz gemetar.
Ia tidak takut pada preman seperti mereka. Hanya saja, dia memikirkan nasib sang ibu jika terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum tinju preman ini menyentuh wajah Faiz, cahaya lampu mobil sedan yang akan parkir menyorot mereka. Hal itu membuat preman tadi surut memukul Faiz dan lari.
Sedan hitam tersebut berhenti, seorang pria paruh baya yang usianya kira-kira hampir sama dengan mendiang bapaknya turun dari mobil mewah tersebut. Dia mendekati Faiz. Ada sorot mata yang tidak bisa Faiz mengerti dari pria ini. Terlebih lagi ketika ia menyentuh bahu Faiz dengan lembut.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya pria ini dengan nada khawatir.
Faiz tersenyum tipis dengan memasang mimik kebingungan, ia menggeleng. “Saya tidak apa-apa, terimakasih sudah menyelamatkan saya dari preman-preman tadi, Pak.”
“Kelihatannya kamu ini seorang pelajar, apa tidak kemalaman kamu masih di luar rumah jam begini?” Pria ini kembali bertanya padanya. Tanpa menunggu jawaban Faiz, ia merogoh saku celananya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas merah kemudian memberikan pada Faiz seraya meminta remaja ini pulang.
Melihat Faiz menatapnya curiga, pria itu pun tersenyum. "Ambillah, kamu mengingatkan saya pada masa muda saya. Pulanglah, pasti orang tuamu khawatir."
Entah kenapa kali ini Faiz menurut, dia menerima lembaran uang merah tersebut dan hanya mengambil selembar saja. Selebihnya ia kembalikan pada sang pemilik. Ia tidak bisa berhenti bertanya-tanya tentang pria baik hati tadi. Dari cara berpakaiannya, sudah jelas kalau orang tersebut bukan orang sembarangan. Walau hidup dalam kemiskinan, ia masih bisa melihat mana baju mahal dan bukan, apalagi mobil sedan mewah yang pria tadi kendarai.
Sepanjang perjalanan pulang, Faiz terus terbayang sosok pria tadi. Gubuk reyot mereka sudah terlihat di depan mata, gelap dan sepi. Perlahan ia membuka pintu mencoba tidak menimbulkan derit yang bisa membangunkan ibunya, tapi gagal.