Mohon tunggu...
Putri Herawati W
Putri Herawati W Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Hukum

"Menjalani hidup dengan kekuatan dan cinta tanpa batas. Seorang ibu tunggal yang berusaha merangkai setiap hari menjadi kisah indah untuk anak-anak tersayang. Di sini, aku berbagi perjalanan, pelajaran, dan kebahagiaan sederhana yang kutemukan di setiap langkah. Karena menjadi ibu tunggal bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang tumbuh dan menginspirasi."

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Senja di Ujung Impian

22 Agustus 2024   07:09 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:15 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bagaimana bisa kamu jadi TNI, Nak. Bapakmu hanya seorang tukang becak!” Ibunya setengah meratap ketika Faiz mengutarakan keinginannya mendaftar TNI AU.

Terlintas perdebatan sengit antara dia dan ibunya semalam. Faiz memainkan pulpen yang sedari tadi ia pegang. Kepala remaja delapan belas tahun ini penuh dengan beban pikiran. Menjadi abdi negara di angkatan udara sudah menjadi cita-cita Faiz sejak kecil.

Semua itu berawal ketika ia masih kecil, bapaknya mengajaknya melihat dari kejauhan perayaan hari kemerdekaan. Di sana ia melihat beberapa pesawat tempur melakukan aksi akrobatik di udara. Faiz kecil pun membayangkan jika dirinya yang menjadi pilot pesawat tempur tersebut.

“Betapa gagahnya kalau Faiz nanti bisa menjadi pilot pesawat tempur seperti itu, Pak.” Mendengar kalimat lugu yang terlontar dari putranya, hati bapak mana yang tidak terenyuh.

Senyum getir, hanya itu yang bisa bapaknya berikan kepada Faiz. Mungkin menyadari kemustahilan dengan kondisi perekonomian mereka. Mendaftar sebagai abdi negara bukanlah perkara mudah dan  murah, yang miliki hanyalah becak tua dan gubuk reyot yang berdiri di atas tanah negara, menunggu waktu pemerintah menggusur mereka.

Dalam perjalanan pulang, Faiz kecil terus saja mengoceh tentang gagahnya perwira TNI yang sedang berbaris rapi dengan seragam angkatannya masing-masing. Terlihat jelas binar gembira dalam sinar mata bocah berumur delapan tahun itu. Tanpa menyadari kegembiraan itu adalah beban berat bagi orang tuanya.

Faiz tersentak ketika seseorang menepuk bahunya. Ternyata itu Yudi, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak sekolah dasar. Perekonomianlah yang membuat Faiz dijauhi oleh orang. Hanya Yudi yang tidak peduli tentang hal tersebut.

“Melamun saja,” tegur Yudi sembari menarik bangku di samping Faiz, kemudian duduk. “Ada masalah?”

Tawa kecil tapi terdengar getir meluncur dari bibir Faiz. Dia menggeleng. “Orang susah sepertiku ini apa masih berhak untuk mengeluh tentang hidup?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun