Mohon tunggu...
R Gatot Prio
R Gatot Prio Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pendiri Center for Digital Blue and Green Economy

Saya adalah R Gatot Prio Utomo, Alumni Universitas Indonesia, Pendiri Center for Digital Blue and Green Economy

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Visi Pertahanan 5.0 Harus Disertai Visi Luar Angkasa

11 Januari 2024   20:16 Diperbarui: 11 Januari 2024   20:18 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by SpaceX on Unsplash 

Ditulis oleh Gatot Prio Utomo dan Wahyu Andrianto (Center for Digital Blue & Green Economy)

Terdapat hal menarik yang disampaikan Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo dalam Debat Capres tanggal 7 Januari 2024 lalu. Pertama, Ganjar menjadikan Matra Laut sebagai prioritas pengembangan sistem pertahanan, disusul dengan pertahanan udara. Kedua,  pemanfaatan teknologi tinggi sistem pertahanan, antara lain rudal hipersonik, senjata autonomous dan penguatan pertahanan siber menjadi perhatian khusus. 

Hal ini dapat difahami karena sebagai negara kepulauan Indonesia menghadapi ancaman dari laut dan udara yang lebih besar dibanding serangan melalui darat. Keseluruhan strategi tersebut terangkum dalam terminologi teknologi Sakti dan sistem pertahanan 5.0, sebagai analogi perkembangan revolusi industri yang sudah memasuki gelombang ke 5 yang ditandai dengan peran dan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) yang semakin dominan. 

Dalam artikel kami sebelumnya bertajuk "Hulunisasi Industri Digital untuk Menjaga Kedaulatan" (artikel selengkapnya bisa dilihat dalam tautan ini), kami menekankan pentingnya penguasaan teknologi luar angkasa dalam hal ini teknologi satelit dan reusable rocket untuk peluncuran satelit. 

Teknologi ini dibutuhkan agar 100% wilayah kedaulatan negara kita termasuk wilayah laut dapat terkoneksi dengan Internet berkecepatan tinggi. Sistem Pertahanan 5.0 akan sulit terlaksana apabila tidak tersedia infrastruktur Internet berkecepatan tinggi terutama di wilayah laut. 

Seluruh sistem pertahanan berteknologi maju seperti senjata autonomous, drone, kapal dengan berbagai sensor IoT, serta sistem navigasi berpresisi tinggi akan sangat tergantung pada infrastruktur digital yang mumpuni.

Sesuai rencana, pada tahun 2024 ini Indonesia akan memiiki total satelit yang beroperasi sebanyak 12 buah dengan kapasitas sebesar 319 Gbps, bertambah 142 Gbps dari tahun sebelumnya sebesar 177 Gbps. Sebagian besar satelit Indonesia tersebut berupa satelit Geostationer (GSO) dengan frekuensi C & Ku-bands dengan sistem klasik single beam.

Dengan satelit sebanyak itu, hampir seluruh wilayah Indonesia dapat dicakup namun sulit menyediakan Internet dengan kecepatan tinggi. Teknologi klasik ini masih membutuhkan berbagai perangkat yang kompleks, termasuk perangkat backhaul untuk menangkap dan mendistribusikan jaringan komunikasi data di permukaan bumi.

Trend saat ini, dunia tengah berlomba-lomba menguasai teknologi satellite direct-to-device (D2D) dengan menggunakan Very High Throughput Satellite (VHTS). 

Starlink, anak perusahaan Space X milik Elon Musk merupakan pionir yang mendominasi industri ini. Starlink juga akan segera memiliki teknologi satelit D2D yang dapat meliputi hampir seluruh penjuru bumi. Bahkan pemerintah Amerika Serikat berencana menjalankan program Star-shield yang berbasis layanan Starlink. Program Starshield ini dipastikan akan merubah peta geo dan astro politik dunia. Oleh karena itu perlu antisipasi strategis dari pemerintah Indonesia.

Negara-negara seperti India, Jepang, Rusia dan tentu saja China merespons dengan secara agresif mengembangkan program luar angkasanya. Mereka bahkan telah memiliki sistem pertahanan anti satelit (ASAT - Anti Satellilte Weapons) sebagai kekuatan deteren dalam menjaga ancama satelit asing, maupun mencegah bahaya yang ditimbulkan dengan semakin banyaknya sampah angkasa atau space debris.

Indonesia bukannya tidak memiliki basis untuk menguasai teknologi ruang angkasa ini. LAPAN (BRIN) telah berhasil meluncurkan roket seri RX, serta pengoperasian tiga satelit NonGeostationer (NGSO), yaitu LAPAN Tubsat, A-2 dan A-3 yang dipergunakan untuk keperluan observasi bumi. Indonesia hanya butuh satu-dua lompatan lagi untuk dapat dapat menguasai industri hulu (upstream) digital ini.

Satelit NGSO yang telah dimiliki LAPAN dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat berfungsi sebagai "BTS Angkasa" layaknya Starlink. Roket milik LAPAN juga dapat dikembangkan menjadi reusable rocket dengan teknologi yang lebih sederhana dibandingkan roket Space X, guna menyediakan layanan peluncuran satelit berbiaya rendah.

Oleh karena itu, sangat penting jika strategi pertahanan Indonesia segera disertai dengan pengembangan teknologi luar angkasa. Keamanan siber dan Sistem Pertahanan 5.0 yang berbiaya tinggi tidak akan menjadi pincang dan rapuh serta tidak mudah dikendalikan oleh negara lain. 

Disamping itu, Indonesia dapat memperoleh nilai tambah lain dari penguasaan program luar angkasa ini yaitu tumbuhnya industry dan pengembangan potensi ekonomi baru, termasuk ekonomi maritim dan startup digital berteknologi tinggi. Dengan memasuki kancah industri ruang angkasa, Indonesia akan memiliki posisi prestisius yang akan memperkuat pengaruh diplomasi internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun