Karena sebuah presentasi salindia, saya menyingkat banyak hal, termasuk referensi, demi menghemat waktu. Lalu saya bayangkan kemaren si profesor yang saya asistensi dulu tertarik pada sebuah kasus yang sedang marak dan ingat bahwa ia pernah membahas masalah itu dulu. Lalu ia membongkar komputernya dan menemukan salindia yang saya susun dulu. Tapi dia tidak menemukan referensi yang saya telah potong-potong dan mengira bahwa semua yang ada di salindia itu adalah hasil diskusi kami dulu. Beliau mengambil sebagian dari presentasi yang kami susun dulu dan kemudian menyuusun ulang menjadi sebuah artikel dan terbit. Dan terjadilah kehebohan itu karena kealpaan beliau menemukan materi lengkap yang saya susun dan kealpaan saya menyertakan bahas asli dari materi itu.
Sepengetahuan saya saat ini komite etik sedang bekerja, mahasiswa FEB, termasuk juga saya, tidak memercayai bahwa ada intensi beliau untuk mencuri karya orang lain. Karena tidak demikian etos yang diajarkan kepada kami.
Di atas semua yang terjadi, kalau beliau memang divonis bersalah, maka beliau adalah pejabat negara tertinggi yang berani mengakui kesalahannya. Beliau juga dosen pertama setahu saya yang berani mengakui kesalahannya, tanpa repot-repot membela diri, dan menyerahkan kepada universitas untuk menghukumnya. Cukup banyak dosen lain yang berkeliaran mencuri karya mahasiswa bimbingan atau kolega dan menjualnya kepada sponsor untuk didanai atau sekadar untuk kenaikan pangkat. Di sini beliau memberi teladan baik kepada kami yang tidak (belum) melakukan kesalahan yang sama agar tidak salah melangkah dan juga kepada mereka yang telah lama dan pernah mencuri (karya orang lain) untuk berani mengakui--yang ini saya tahu cukup banyak.
Nusantara, 18 Februari 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI