"Ia terlahir dari keluarga ningrat, bangsawan, dan terpandang.
Namun ia memilih untuk menjadi manusia biasa.
Bebas menentukan arah dan tujuan yang mulia.
Senantiasa memihak kepada buruh, tani, dan rakyat jelata.
Dan dialah Suryopranoto 'Si Raja Mogok' dari Yogyakarta."
Yogyakarta - Komunitas Sakatoya mempersembahkan proyek teater yang bertajuk "Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok" yang telah dilaksanakan selama enam hari, mulai 3 s.d 8 Desember 2024 yang tersebar dalam enam situs, kisah, dan sutradara yang berbeda.
Pagelaran ini adalah sebuah pementasan teater yang mencoba untuk menghidupkan kembali kisah Suryopranoto, seorang tokoh yang dikenal sebagai "Raja Mogok" atas perjuangannya dalam membela hak buruh dan rakyat kecil di era kolonial.
Agenda ini merefleksikan kembali perjuangan sosok Suryopranoto "Si Raja Mogok" mulai dari masa kecil, remaja, dewasa, hingga senja kala yang mana di setiap fasenya bernafaskan perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda kepada buruh dan rakyat kecil kala itu.
Proyek ini diinisiasi oleh Komunitas Sakatoya yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan RI melalui Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024. Pertunjukan ini memberikan pengalaman imersif-partisipatoris kepada seluruh penonton, sehingga penonton akan mengalami dan menyelami langsung jejak perlawanan dan biografi Suryopranoto.
Keenam lokasi ini juga dijadikan sebagai lokus pengetahuan yang merekam jejak perjalanan hidup seorang Suryopranoto dengan beragam pendekatan artistik, mulai dari aktivasi arsip, partisipatoris, hingga re-enactment sejarah.
Lebih dalam lagi, pagelaran akbar ini mengisahkan enam fase perjuangan Suryopranoto yang mencerminkan perjalanan tubuhnya: dari tubuh pemberontak yang memulai aksi, tubuh pemimpin yang mempersatukan, hingga tubuh pengorbanan yang rela menghadapi risiko demi rakyat kecil.
Pementasan ini membawa kita lebih dekat pada sosok Suryopranoto sebagai figur inspiratif yang menggambarkan perjuangannya dengan sentuhan seni yang kuat yang dapat mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keadilan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Agenda ini melibatkan sebanyak 120 partisipan setiap harinya yang datang dari berbagai kalangan, seperti siswa, komunitas sejarah, persatuan tuna netra, hingga serikat buruh dan perkumpulan guru.
Kehadiran dari berbagai kalangan ini mencerminkan betapa luasnya jangkauan inspirasi dari kisah perjuangan Suryopranoto. Melalui kolaborasi lintas komunitas, agenda ini tidak hanya menjadi ajang pengenalan sejarah perjuangan buruh, tetapi juga menjadi wadah refleksi dan pembelajaran kolektif.
Napak tilas makam Suryopranoto
Pada Sabtu, 7 Desember 2024. Komunitas Sakatoya kali ini melibatkan komunitas sejarah Alon Mlampah, Kolektif Arungkala, dan anggota Pramuka SMAN 11 Yogyakarta untuk menjadi bagian dari teater yang bertajuk "Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)" yang diselenggarakan di Amphiteater, Taman Budaya Yogyakarta pukul 15.00 - 17.00 WIB.
Seni pertunjukan spekulatif ini berupaya mereka ulang situasi kongres Sarekat Islam (SI) yang menghadirkan pertemuan dan perdebatan para tokoh kunci SI dalam satu ruang dan waktu yang sama.
Namun sebelum itu, seluruh peserta akan diajak ke dua lokasi: Makam Suryopranoto yang berada di Gambiran, Umbulharjo dan Aula Boedi Utomo SMAN 11 Yogyakarta.
Untuk perjalanan menuju lokasi, panitia telah menyediakan akomodasi berupa dua bus. Setiap bus disesuaikan dengan pembagian kelompok, yaitu kelompok berpita kuning dan kelompok berpita ungu, sehingga mempermudah pengorganisasian peserta selama perjalanan.
Saat menuju lokasi pertama, panitia memberikan penjelasan tentang biografi Suryopranoto yang nantinya akan menjadi petunjuk dalam mengisi Teka-Teki Suryopranoto (TTS).
"Dimohon untuk seluruh peserta agar mendengarkan dengan seksama biografi yang akan kami bacakan, yang nantinya akan menjadi clue untuk teman-teman semua dalam mengisi Teka-Teki Suryopranoto (TTS). Dan nantinya akan ada sebelas orang yang beruntung mendapatkan cinderamata dari kami," ujar salah salah satu panitia.
Saat tiba di lokasi pertama, seluruh peserta berkesempatan untuk mengunjungi makam Suryopranoto. Di makam yang sederhana itu, peserta seakan-akan dibawa ke masa-masa sulit namun penuh semangat pergerakan.
Di sini, setiap peserta dapat membayangkan bagaimana Suryopranoto, dengan suara lantangnya, menyerukan kepada para buruh untuk bersatu, tidak tunduk pada penindasan, dan menggunakan aksi mogok sebagai senjata paling ampuh untuk melawan penindasan.
Singkatnya, ia tidak hanya menjadi seorang pemimpin, tetapi juga sebagai simbol---simbol bahwa perlawanan bisa dilakukan tanpa kekerasan, namun hanya dengan keberanian dan solidaritas antar buruh dan rakyat kecil.
Kemudian, pertanyaan yang menggantung di udara adalah..
Apakah kita, generasi penerus, telah melanjutkan perjuangan itu? Apakah keadilan sosial yang Suryopranoto perjuangkan sudah benar-benar tercapai? Ataukah kita masih menghadapi bentuk-bentuk baru dari penindasan yang membutuhkan aksi dan solidaritas?
Aula Budi Utomo dan Pergerakan Suryopranoto
Dari makam, seluruh peserta bergeser menuju Aula Budi Utomo yang berada di SMKN 11 Yogyakarta. Selama perjalanan, seluruh peserta dipersilakan untuk mengisi TTS yang telah dibagikan.
Seluruh peserta berpita kuning nampak antusias mengisi TTS, terlihat dari beberapa peserta yang saling bantu hingga mencari jawaban dari mesin pencari Google.
Sementara itu, bus telah memasuki halaman SMKN 11. Di sana, nampak ibu-ibu yang sedang sibuk memasak di Dapur Mardi Kaskaya. Sebuah nama yang diambil dari sebuah lembaga koperasi yang digagas oleh Suryopranoto. Sebuah koperasi yang diperuntukan untuk membantu masyarakat luas dari belenggu kemiskinan dan jerat rentenir.
Berangkat dari spirit itulah, dapur ini dikembangkan sebagai medium yang melibatkan masyarakat lokal. Karenanya, juru masak di setiap lokasi pertunjukan berbeda-beda. Dengan melibatkan masyarakat lokal, dapur ini menjadi ruang kolaborasi yang merayakan keberagaman dan memperkuat sinergitas antara seni, kuliner, dan komunitas.
Sebelum santap siang, salah satu panitia menjelaskan bagaimana sejarah Aula Budi Utomo ini bermula.
"Aula ini dulunya menjadi lokasi penting bagi rapat-rapat organisasi Budi Utomo, organisasi modern pertama di Indonesia yang menjadi tonggak awal kesadaran nasionalisme. Di aula ini, ide-ide besar tentang kesetaraan, pendidikan, dan hak rakyat kecil pertama kali dirumuskan.
"Salah satu momen bersejarahnya adalah saat Suryopranoto, yang kala itu berperan aktif dalam pergerakan, ikut menyampaikan gagasannya tentang perlunya persatuan dalam melawan penindasan kolonial," jelasnya.
"Jadi teman-teman, dulunya aula ini bukan sekadar tempat berkumpul, tapi juga menjadi tempat di mana suara-suara lantang yang bergema di dalamnya membawa semangat perubahan yang menyentuh banyak lapisan masyarakat, dari buruh hingga intelektual muda. Eyang Suryopranoto salah satunya," tutupnya.
Vergadering Sarekat Islam: Suatu Hari Sebelum Indonesia
Setelah dari Aula Budi Utomo, seluruh peserta menuju lokasi terakhir, yakni Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tempat penampilan teater Kongres Sarekat Islam. Saat menuju TBY seluruh peserta diberikan ikat kepala berwarna hijau yang bertuliskan Sarekat Islam dengan lambang bulan bintang di tengahnya.
"Teman-teman semua akan terlibat langsung dalam teater ini, mulai dari turun dari bus sampai ke panggung teater di TBY nanti," ujar panitia sembari membagikan ikat kepala.
Saat turun dari bus, seluruh peserta diimbau untuk membentuk dua baris sebelum menuju ke panggung teater. Dan saat berjalan menuju TBY, seluruh peserta diminta untuk berteriak, "Mogok! Mogok! Mogok! Buruh Mogok!" sembari mengepalkan tangan ke udara.
Saat memasuki gerbang, peserta diminta menunggu sejenak para pemain teater untuk dipersilakan menuju baris terdepan, disusul kelompok hadrah dari Bibis Bangunjiwo dan mahasiswa dari Teater Eska yang juga membawa bendera SI dan juga berperan sebagai penonton aktif saat berada di panggung.
Saat berada di amphiteater, mula-mula pertunjukan ini menampilkan presentasi Soerjopranoto tentang hak-hak buruh dan feodalisme yang mempresentasikan ketegangan ideologis yang berlangsung di tubuh organisasi. Berlandaskan notulensi kongres dan data biografis tokoh, pertunjukan ini mengartikulasikan dinamika gagasan dan perdebatan di era pergerakan nasional.
Ini terlihat usai Suryopranoto yang diperankan oleh Jamaludin Latif menyampaikan gagasannya di Kongres SI. Darsono yang 'berdarah panas' dan gagasannya tentang revolusi total sampai menggebrak meja, tanda kurang setuju dengan gagasan Suryopranoto.
"Apa-apa yang saudara jelaskan tadi itu terlalu lemah! Sementara bangsa kita semakin terhimpit dan terdesak! Maka yang harus kita lakukan dengan segera adalah Revolusi!" ujar Darsono yang diperankan oleh Ragil Cahya Maulana.
Sontak hal ini menimbulkan penonton berteriak "Revolusi!" sembari mengepalkan tangan di udara. Di titik ini, Suryopranoto tetap kalem dan tidak terpancing emosi.
Walau begitu, Suryopranoto beberapa kali menimpali Darsono, Semaun, dan H. Misbach (kubu SI Merah) dengan argumen yang tak kalah kuat. Kubu SI meresponnya dengan bantahan yang semakin membikin kongres memanas.
Hingga akhirnya sidang diskors oleh Tjokroaminoto yang diperankan oleh Raymizard Alifian Firmansyah, dan semua tokoh pun meninggalkan forum kongres. Dan pementasan teater pun selesai.
Konklusi
Acara ditutup dengan pernyataan penutup oleh Muhidin M. Dahlan seorang penulis ternama, sejarahwan yang juga menggeluti bidang pengarsipan. Pria yang akrab disapa Gus Muh ini memaparkan tentang sepak terjang dan jejak langkah perjuangan Suryopranoto di era kolonial.
Dalam pernyataan penutupnya, ia memaparkan bahwa Suryopranoto adalah bangsawan yang menolak untuk hidup di dalam benteng Pakualaman, dan lebih memilih untuk hidup di luar benteng dan menjadi rakyat biasa.
"Bahwasanya Suryopranoto adalah seorang bangsawan yang berpihak kepada buruh, kepada pedagang, dan rakyat kecil. Ia melepaskan segala kenyamanan dan keistimewaan yang melekat pada darah kebangsawanannya demi berdiri bersama mereka yang tertindas. Sikap ini menunjukkan keberanian dan ketulusan seorang pemimpin sejati, yang tidak hanya berbicara tentang keadilan, tetapi juga hidup di tengah perjuangan itu sendiri.
Dengan memilih hidup di luar benteng Pakualaman, Suryopranoto menegaskan bahwa batasan kelas sosial bukanlah penghalang untuk berjuang bagi hak asasi dan martabat manusia. Selain itu, semangatnya menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus membela mereka yang tak bersuara dan melanjutkan cita-cita besar akan keadilan sosial," jelasnya.
Arkian, apakah kita cukup berani untuk memperjuangkan nilai-nilai yang kita yakini?
Dalam kehidupan modern yang kompleks ini, mungkin bentuk perjuangannya berbeda. Namun, semangat dan ketulusan Suryopranoto untuk membela mereka yang tak bersuara tetap relevan dan senantiasa menginspirasi kita untuk mengambil langkah kecil namun berarti demi keadilan dan kemanusiaan universal.
***
Di balik layar
Salah satu aktor Raymizard Alifian Firmansyah yang berperan sebagai Tjokroaminoto menjelaskan proses kreatif di balik suksesnya pertunjukan Teater Kepahlawanan yang bertajuk "Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)".
"Jadi kami hanya berlatih hanya sepuluh kali saja, yang idealnya setidaknya perlu latihan selama tiga bulan penuh untuk menunjukkan performa yang lebih baik lagi," katanya setelah saya temui.
Saat ditanya bagaimana proses dirinya terpilih menjadi salah satu pemeran dalam teater tersebut, seniman muda yang juga aktif di Komunitas Kolektif Arungkala ini mengungkapkan bahwa dirinya sedari awal sudah terlibat dalam agenda ini dan turut serta menulis naskah dialognya.
"Saya yang menulis langsung dialog dari tokoh Tjokroaminoto ini, jadi kami saling menyelaraskan dialog antar tokoh," imbuh pemuda yang akrab disapa Ray ini.
Cast
Jamaluddin Latif - Suryopranoto;
Khuluqul Karim - Semaoen;
Ragil Cahya Maulana - Darsono;
Hamdani - H. Misbach;
Raymizard Alifian Firmansyah - Tjokroaminoto;
Muhim Rifqiy Aziz - Sosrokardono;
M. Ichsanudin Adnan - Agus Salim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H