Dunia tengah adalah pusat alam semesta dan manusia menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta, maka tempat tinggal manusia harus berada di tengah, bukan di dunia bawah (bumi) atau dunia atas (langit). Dengan kata lain, manusia harus memiliki keseimbangan hidup antara hubungan secara vertikal (manusia dengan Tuhan) dan juga secara horizontal (manusia dengan alam semesta).
Dalam bahasa Sunda halus, rumah adalah Bumi. Ini mengartikan bahwa rumah tak hanya sebuah tempat tinggal, tetapi lebih dari itu. Bumi atau rumah harus selaras dengan alam sekitar dan lingkungannya.
Bahan dan bentuk rumah Sunda pada dasarnya sederhana dan dibuat sambil menghormati alam sekelilingnya. Orang Sunda dekat dengan alam, ini bisa dilihat bagaimana masyarakat Sunda menamai susunan-susunan rumah dengan nama hewan, seperti Badak Heuay, Tagog Anjing dan juga Julang Ngapak.
Dari bahan pembuatan, rumah Sunda tidak ada menggunakan besi sedikit pun. Ditambah dari dahulu rumah Sunda sangat jarang menggunakan tanah liat ataupun genting. Mereka menggunakan pasek dari bambu sebagai penguat dan ijuk untuk mengikat struktur.
Jika memakai KLUCKHOHN AND STRODTBECK’S VALUE ORIENTATIONS dalam orientasi manusia dengan alam, orang Sunda memiliki nilai manusia tunduk pada alam. Budaya pada orientasi ini percaya bahwa kekuatan hidup yang paling kuat berada di luar kendali manusia, seperti kekuatan Tuhan.
Dalam identitas kultural dan sosial, orang Sunda tak hanya mengidentifikasi dirinya secara etnis dan regional, tetapi juga secara agama. Tradisi dan budaya orang Sunda sangat erat kaitannya dengan agama (Miharja, 2022). Seperti dalam perbahasa “Ulah agul ku payung butut, sagala nu dipiboga kadar titipan tinu Maha Kawasa”. Peribahasa ini memiliki arti jangan sombong dengan apa yang dimiliki, karena semuanya hanya titipan Tuhan.
Contoh lain peribahasa orang Sunda ialah “Di dunya mah darma wawayangan baé, anging Allah nu ngusik malikeun”, dengan arti manusia tidak mempunyai daya dan upaya, semua adalah kehendak Allah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda begitu patuh pada yang maha kuasa.
Selain itu, dinding rumah tradisional Sunda tergolong tipis, khususnya pada bagian dapur. Karena ketika mereka memasak masih menggunakan kayu bakar atau yang mereka sebut ‘Hawu’. Sehingga akibat dinding tipis ini, saat memasak pastinya akan mengeluarkan asap yang bisa terlihat dari luar rumah dan orang-orang bisa mengetahui bahwa seseorang sedang memasak atau tidak.
Ini penting karena orang sunda dalam dimensi nilai Hofstede memiliki budaya kolektivistik dimana menekan pada komunitas, tradisi, harmoni, kesamaan minat, dan kepentingan umum. Orang Sunda akan mengetahui tetangganya tidak memasak pada hari itu karena tak ada asap yang keluar dari dapurnya, maka mereka akan berbagi makanan dengan satu sama lain.
Ini bisa dilihat dalam peribahasa “Kudu silih asih silih asah jeung silih asuh”. Artinya saling mengasihi, saling mengajari dan saling menjaga satu sama lain. Silih asah merupakan ekspresi komunikasi dengan Tuhan dan sosial-keagamaan. Kasih Allah diwujudkan kepada setiap hamba-Nya. Karena pendekatan agama dan budaya welas asih, semua individu dianggap sama dan setara.
Nilai-nilai di atas patut untuk dilestarikan karena merupakan hal yang positif yang harus di jaga sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi anak-anak muda zaman sekarang.