Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi, kedua aturan tersebut memang tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi pengembangan ekonomi.
Hal itu juga diperkuat berdasarkan hasil kajian ilmiah para pakar, yang menjelaskan fakta bahwa benih lobster yang berada di alam ternyata memiliki tingkat kelangsungan hidup hingga menjadi dewasa hanya 0,01% (1 ekor hidup dari 10.000 ekor) (Jones, 2015).
Kemudian Priyambodo (2018) menambahkan estimasi jumlah kelimpahan stok benih lobster di Indonesia bisa mencapai miliaran benih.
Artinya, akan ada potensi ekonomi yang hilang jika benih lobster di alam tidak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya maupun dijual ekspor.
Jika kita asumsikan saja harga benih lobster ekspor per ekor Rp. 100 ribu dan harga lobster dewasa per ekor Rp. 1 juta, maka dari 10.000 ekor benih lobster yang berada di alam, hanya akan dihasilkan satu ekor lobster dewasa dengan nilai ekonomi Rp. 1 juta.
Bandingkan, apabila, seluruh benih lobster tersebut diekspor maka diperoleh nilai ekonomi Rp 1 miliar. Angka tersebut bisa lebih besar lagi jika dibudidayakan (asumsi survival rate 70%), dengan nilai ekonomi hingga Rp 7 miliar.
Demikian halnya terkait penggunaan API cantrang yang menjadi sumber penghidupan bagi sebagian nelayan.
Berdasarkan laporan BPK dalam Ikhtisar Laporan Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017 menyebut bahwa aturan larangan API cantrang telah memberikan ancaman kredit macet dan terganggunya ekonomi sektor perikanan di daerah dominan cantrang.
Akibatnya, para nelayan cantrang menjadi kehilangan pandapatan dan mata pencaharian karena hasil tangkapan API pengganti tidak seproduktif cantrang.Â
Dari dinamika di atas, maka wajar bila Menteri Edhy berniat untuk mengkaji ulang Permen KP No 56 Tahun 2016 dan Permen KP No 71 Tahun 2016. Terlebih Presiden Jokowi di masa periode keduanya kali ini sangat perhatian dalam hal pembangunan ekonomi.
Pembangunan yang Seimbang