Mohon tunggu...
Rezi Hidayat
Rezi Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - researcher and writer

Fisheries Researcher

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengurai Benang Kusut Garam Nasional

30 Juli 2019   10:14 Diperbarui: 30 Juli 2019   10:32 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Awal paruh kedua tahun 2019 ini bisa dikatakan menjadi petaka bagi para petambak garam nasional. Pasalnya, belum juga memasuki masa panen raya, harga garam rakyat ditingkat petambak anjlok hingga Rp.500-Rp.300 per kg-nya. 

Padahal, tahun lalu saat masa panen raya harganya masih bisa Rp.800-1.000 per kg-nya. Anjloknya harga tersebut diduga karena masih banyaknya stok garam akibat impor garam yang berlebihan tahun lalu saat produksi garam nasional melimpah. 

Impor garam tahun 2018 sebesar 2,7 juta ton dari kuota 3,7 juta ton. Sementara, produksi garam nasional berhasil mencapai 2,7 juta ton. Konsumsi garam tahun lalu sebesar 3,9 juta ton, sehingga ada kelebihan stok sekitar 1,3 juta ton awal tahun ini (Kemenko Kemaritiman, 2019). 

Ironisnya, meski stok garam banyak, pasokan garam untuk sektor industri seperti makanan dan minuman (mamin) justru kekurangan. 

Tahun ini industri mamin membutuhkan sekitar 550.000 ton garam yang disuplai dari impor, sedangkan kuota impor yang diberikan hanya 300.000 ton (GAPMMI, 2019).

Karut-marut persoalan garam nasional diatas bukan kali ini saja terjadi. Persoalan tersebut ibarat benang kusut yang tak kunjung bisa terurai. 

Banyak masalah klasik yang hingga kini belum teratasi secara tuntas. Jika kita coba urai benang kusutnya, penyebab polemik garam nasional selama ini setidaknya ada beberapa hal. Pertama, kurangnya komitmen pemerintah terhadap usaha garam nasional. 

Hingga kini pemerintah belum memiliki peta jalan (roadmap) pembangunan industri garam nasional yang komprehensif dan operasional. 

Sehingga, setiap Kementerian/Lembaga terkait maupun Pemerintah Daerah sering kali berjalan sendiri-sendiri. Misalnya saja terkait kebijakan penentuan impor garam yang sering tidak sinkron. 

Meski sudah diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2016, bahwa rekomendasi impor garam merupakan wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun kemudian muncul Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2018 yang mengalihkan rekomendasi tersebut kepada Kementerian Perindustrian khusus untuk garam industri.   

Kedua, rendahnya mutu garam nasional yang sebagian besar dihasilkan dari garam rakyat. Mutu garam rakyat sejauh ini belum mampu memenuhi permintaan industri (NaCL > 96%) karena proses produksinya yang masih tradisional dan sangat tergantung iklim. Padahal, sebagian besar (sekitar 80%) konsumsi garam nasional diserap oleh industri. 

Sementara itu, ketersediaan industri pengolahan garam untuk menghasilkan garam industri juga masih minim. Akibatnya, banyak industri kurang meminati garam nasional dan lebih memilih garam impor yang lebih kompetitif mutu dan harganya.

Ketiga, kompleksnya tata kelola niaga garam nasional yang dinilai tidak berpihak pada petambak garam rakyat. Meski margin perdagangan garam cukup besar, namun nyatanya keuntungan tidak lebih banyak diperoleh petambak garam karena jalur distribusi garam yang begitu kompleks.

 Disisi lain, praktik kartel dalam perniagaan garam nasional diduga juga masih dilakukan segelintir importir yang menekan petambak garam hingga titik terendah.

Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut tiga perempat total luas wilayahnya, Indonesia sejatinya bisa menjadi negara teratas produsen garam dunia. Demi mewujudkannya, perlu ada perhatian serius untuk mengurai benang kusut persoalan garam nasional selama ini. 

Terlebih lagi pemerintah sudah sering kali merevisi target swasembada garam nasional, dimana yang terakhir tak lama lagi di tahun 2021. 

Oleh karenanya, mulai saat ini semua komponen usaha baik pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi, maupun masyarakat lainnya harus mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bekerjasama secara sinergis. Sejumlah tugas mesti segera dituntaskan oleh masing-masing komponen usaha tersebut.

Dalam kaitannya itu ada pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Pertama, menyusun peta jalan (roadmap) mengenai peningkatan produk garam nasional terutama untuk memenuhi kebutuhan industri. 

Kedua, menetapkan harga pokok produksi sebagai upaya stabilisasi harga garam yang sering kali merosot. Ketiga, memberi kemudahan dan insentif bagi investor serta mengusahakan kredit perbankan lunak bagi petambak garam rakyat untuk intensifikasi maupun ekstensifikasi. 

Keempat, pengembangan kapasitas sumberdaya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (DIKLATLUH) yang benar, tepat, dan berkesinambungan. 

Kelima, melindungi produksi garam nasional dengan memperketat impor secara selektif, transparan dan memperhatikan ketersediaan produksi dalam negeri. 

Keenam, membangun dan merawat infrastruktur tambak garam (seperti saluran irigasi dan drainase) dan infrastruktur dasar (seperti jalan, air bersih, jaringan listrik, konektivitas digital, pelabuhan, dan bandara). 

Dan Ketujuh, harmonisasi aturan dan kebijakan untuk memastikan koordinasi yang sinergi antara Kementerian/Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah.

Selanjutnya, tugas para pelaku usaha garam sebagai ujung tombak usaha, utamanya menghasilkan produk garam yang berkualitas tinggi, harga kompetitif, produksi mencukupi dan kontinu, ramah lingkungan, serta menguntungkan bagi dirinya melalui penerapan teknologi modern. 

Kemudian, tugas para peneliti dan perguruan tinggi yaitu mampu menciptakan inovasi mengenai teknologi budidaya garam, diversifikasi produk garam, maupun pengemasan garam. 

Dan terakhir tugas masyarakat lainnya seperti asosiasi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat adalah membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan dan regulasi yang kondusif, serta memberikan saran dan kritik yang membangun kepada pemerintah dan swasta.

Dengan melaksanakan tugas-tugas diatas, diharapkan kuantitas dan kualitas produksi garam nasional mampu meningkatkan secara signifikan, menuju Indonesia swasembada garam nasional di tahun 2021. 

Lebih jauh lagi, Indonesia mampu menjadi produsen garam terbesar di dunia agar tercipt pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, penyediaan lapangan kerja dalam jumlah signifikan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun