Mohon tunggu...
Yogie Reza Pratama
Yogie Reza Pratama Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Pertambangan ITB 2011

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Realita Pajak Pertambangan Indonesia

19 Juni 2014   14:42 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah dari ujung pulau sumatera sampai papua. Sumber daya alam mineral dan batubara merupakan salah satu dari kekayaan tersebut. Kita dapat jumpai berbagai daerah di Indonesia dikenal sebagai penghasil komoditas tambang, seperti nikel, biji besi, tembaga, bauksit, timah, emas, perak, dan batubara.

Terdapat banyak perusahaan yang bermunculan di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Sebelum memulai aktivitas pertambangan, usaha pertambangan harus memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri tergantung dari letak wilayah pertambangan yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. IUP dibagi menjadi 2 yaitu IUP eksplorasi dan IUP produksi. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari rekapitulasi data per April 2014 Ditjen Minerba, terdapat 10.922 IUP di seluruh Indonesia.

Dengan adanya IUP, sebuah usaha pertambangan dapat memulai kegiatan eksplorasi dan produksi. Produksi dilakukan untuk mendapatkan bahan galian yang diinginkan kemudian dijual ke pasar yang ada baik dalam negeri maupun luar negeri. Pendapatan yang diterima perusahaan tersebut akan dikenakan pajak penghasilan yang harus dibayarkan ke negara. Dari sistem pajak itulah negara kita mendapatkan pendapatan dari sektor pertambangan.

Sumber : http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files

Data diatas adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2012 tetapi masih dapat merepresentasikan pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan bahwa potensi PPh pada sektor pertambangan penggalian sebesar 140,96 triliun tetapi yang dapat direalisasikan hanya sebesar 43,48 triliun berarti 30,8% besar pajak yang diterima negara sedangkan 70,2% hilang karena banyaknya perusahaan yang belum membayar pajak.

Potensi dan realisasi ini berbeda besar dalam hal jumlah, salah satu penyebabnya adalah masih banyak perusahaan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk membayar pajak diperlukan NPWP sebagai sarana untuk administrasi perpajakan. Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP, 3.202 di antaranya belum teridentifikasi NPWP-nya. Hal ini berakibat hilangnya sebagian pemasukan negara dari pajak pertambangan.

Kesalahan ini diakibatkan oleh 2 pihak yaitu pihak pemberi izin IUP dan pihak pengelola pajak. Di PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara diatur bahwa untuk mendapatkan IUP terdapat salah satu persyaratan administrasi yaitu perusahaan harus memiliki NPWP. Dengan banyaknya perusahaan yang tidak memiliki NPWP berarti terdapat kesalahan dalam sistem yang berjalan selama ini. Seharusnya perusahaan yang belum memiliki NPWP maka tidak diperkenankan untuk mendapatkan IUP.

Pihak pemberi izin IUP terkadang mengeluarkan izin namun tidak memiliki data produksi dari perusahan-perusahaan yang sudah diberikan izin. Sehingga, terdapat perbedaan antara jumlah IUP dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kita bisa menganggap bahwa perbedaan data ini juga berpengaruh pada sistem pengawasannya terkait perpajakan.

Kita harus mengevaluasi sistem yang digunakan saat ini. Sebelum kita berpikir jangka panjang untuk melakukan penambahan nilai akan mineral yang ada di indonesia, seharusnya kita perbaiki dulu sistem agar pendapatan negara yang didapat itu sesuai dengan potensi sebenarnya.

Ada beberapa hal yang harus kita benahi. Pertama, pihak pemberi IUP yaitu Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri harus tegas dalam menjalankan hal-hal yang tertuang dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 dan adanya sistem kontrol dari kementrian ESDM supaya IUP yang keluar memenuhi semua persyaratan yang ada. Kedua, setiap pemberian izin oleh pihak yang berwenang harus didata yang kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat sehingga tidak ada bias diantara kedua pihak terkait jumlah pemegang IUP yang ada di Indonesia. Ketiga, Dirjen Pajak bersama dengan Kementerian ESDM membangun Sistem Pengelolaan Pajak Minerba berbasis IT yang disertai dengan sistem monitoring dan evaluasinya. Sistem berbasis IT ini terintegrasi secara real time dengan semua pihak terkait.

Kita harus mengupayakan agar pendapatan yang diterima negara sesuai dengan potensi yang ada. Dirjen Pajak, Kementerian ESDM, dan KPK dapat bersinergis untuk memberantas pihak-pihak yang belum membayar pajak ke pemerintah. Penerimaan negara dari sektor pajak sangat penting dalam pemenuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena 70% pendapatan negara berasal dari pajak. APBN merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun