Mohon tunggu...
REZAWAHYA
REZAWAHYA Mohon Tunggu... PNS -

Penulis dengan multi-interest Ingin berbagi ilmu dan kebahagian kepada orang lain terutama kaum muda

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Akar Permasalahan Daging Sapi Impor dan Sapi Lokal

9 Juni 2016   14:08 Diperbarui: 10 Juni 2016   14:17 2396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat mendekati lebaran "Idul Fitri"seperti sekarang ini, kebutuhan akan daging sapi terus meningkat hingga mencapai puncaknya sehari sebelum lebaran. Di hari lebaran daging sapi biasanya disajikan sebagai lauk makan bersama ketupat dalam bentuk rendang, opor daging ataupun malbi yang terasa sangat gurih. Dampak melonjaknya pemintaan daging sapi tersebut adalah kurangnya pasokan daging sapi dari sentra produksi, sehingga menjadikan pilihan yang sangat sulit bagi pemerintah untuk meng-import-nya dari Australia atau New Zealand. Akibat diberlakukannya import tersebut ada excess negative yang diperdebatkan oleh berbagai pihak mulai dari pedagang daging sapi, peternak, hingga para importir.

Pro-kontra pengiriman daging sapi dari luar negeri haruslah disikapi dengan bijak oleh semua masyarakat Indonesia. Sebagai kebijakan yang bersifat instant scheme mengimport sapi dari luar negeri akan mendapat dukungan oleh masyarakat luas, tapi bagi pengusaha peternakan ha litu bukanlah berita gembira. Sedangkan akar masalah yang timbul dari import sapi (menurut penulis) adalah kebutuhan masyarakat yang sangat melonjak pada saat menjelang Ramadhan hingga Hari Raya. Sebenarnya masih ada masalah lain yang harus kita cermati agar debate atau adu argumen tidak menjadi berkepanjangan

Kebutuhan dalam negeri

Menurut media online, Kalamantha, kebutuhan masyarakat pada saat menjelang Ramadhan meningkat dua hingga lima kali lipat. Hal itu sangatlah logis karena terjadi permintaan yang tinggi dari konsumen untuk panganan dan juga tumbuhnya pasar-pasar kaget "makanan" yang menggunakan daging olahan. Kalau hari biasa sangat jarang kita temui penjual makanan tradisional, tapi di bulan Ramadhan hal itu seperti cendawan yang tumbuh di musim hujan. Ditambah juga kebutuhan daging dari hotel-hotel berbintang di kota-kota besar, mereka banyak mengadakan event festive dengan paket murah dan makan sepuasnya dengan sajian daging sapi tentunya.

Berdasarkan data BPS yang sudah diolah oleh B. Setiawan, Indonesia selalu mengalami defisit daging sapi dari tahun 2008 hinggga 2013. Keran import sapi sepertinya tidak bisa dihindari oleh Pemerintah selama produksi daging sapi belum bisa memenuhi kebutuhan pokok (swasembada). Kalau ingin mengurangi untuk mendatangkan sapi dalam bentuk daging bisa saja, alternatifnya mengimport anakan sapi sehingga dimungkinkan untuk dibiakkan terlebih dahulu dan bisa diproduktifkan pada saat sapi tersebut menginjak masa fertilisasi.

Kebutuhan daging sebagaimana dijelaskan tadi bisa dipetakan berdasarkan waktu puncak kebutuhan. Apabila didistribusikan berdasarkan kalender, maka pada saat bulan juni - juli inilah kebutuhan daging sapi sangat tinggi. Sedangkan pada bulan lainnya bisa dikatakan kurva kebutuhan cenderung flat dan tidak berubah. Akibat yang timbul penggelembungan permintaan daging tidak bisa diantisipasi oleh para peternak kita sehingga elastisitas permintaan lebih merugikan konsumen sendiri dan peternak belum mampu berbuat banyak.

logika konsumen

Permasalahan yang sangat penting untuk dicarikan solusinya adalah pendidikan untuk para konsumen. Bahwa memenuhi kebutuhan protein hewani tidak harus ditumpuk pada saat bulan Ramadhan. Dan bahwa kebutuhan protein hewani tidak hanya melulu dengan daging sapi, atau bisa saja dicarikan subtitusinya yaitu daging ikan atau ayam. Sehingga logika konsumen kita perlu diasah dan dikembangkan melalui media pengajaran yang bisa di-chanelling lewat koran, internet, atau televisi.

Pada saat rebutan membeli daging sapi terjadilah panic buying sehingga para konsumen sudah tidak menggunakan logika sehat sebagai konsumen, mereka lebih cenderung mengikuti nafsu makan yang sesuai selera. Moment ibu-ibu memborong daging sapi pada saat awal puasa hingga mendekati lebaran menjadikan permintaan tinggi dan (sesuai hukum ekonomi) menjadikan harganya naik, jadi jangan heran harga sekilo daging sapi bisa mencapai 120 ribu hingga 180 ribu, suatu harga yaang tidak lagi wajar.

Industri Peternakan

Dari uraian dan penjelasan tadi, di masa mendatang ada peluang dan tantangan yang dihadapi industri peternakan sapi di Indonesia. Salah satunya ternak yang bisa memproduksi daging dalam waktu cepat. Teknologi pakan ternak, lokasi yang layak untuk mengembang biakan ternak sapi, dan dekatnya rantai distribusi daging sapi ke konsumen adalah sederet pekerjaan rumah untuk pemerintah dan pengusaha ternak sapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun