Mohon tunggu...
Reza Syariati
Reza Syariati Mohon Tunggu... profesional -

Sepah e pazdaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mari Usir "Sapi" dari Parlemen

5 Maret 2014   12:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini merupakan respon dari Kebodohan Akun Diduga Kader PKS, Dengan Bom Tweet Menjelang Pemilu. Kelakuan, tabiat dan cengkonek partai "Islam abal-abal" ini memang sudah tidak punya malu lagi. Bahkan Anies Matta mulai halusinasi akan memperoleh suara 3 besar. Padahal sejak rentang Februari 2013- Januari 2014, elektabilitas PKS berdasarkan survei tak lebih dari 4 persen (malah cuma 3,3 persen). Angka yang sangat nisbi jika ingin lolos Parlementary Threshold.

Saya urai sedikit anatomi PKS dalam tiap Pemilu dan Pilkada.

Komposisi suara PKS adalah kumulasi suara kader dan simpatisan, ini memang pola umum dalam studi pemilu. Patut diakui, PKS memang rapi dalam pengkaderan. Kualitas kader PKS memang mumpuni dan tunduk sama garis "tsiqah qiyadah". Tapi ini memang pola umum partai-partai sayap kanan yang menggunakan sentimen agama sebagai alat doktrinisasinya.

Nah, sekarang berapa sebenarnya kader PKS? Jika kita menggunakan pendekatan histografi Pemilu sejak 1999, kita akan bertemu dengan angka 3 persen. Atau perolehan awal dari Partai Keadilan. Perlu diingat, PKS adalah Partai yang didirikan dengan latar belakang gerakan dakwah kampus pada era 1990-an. Ideologisasi partai bisa dilacak dari gerakan ikhwanul muslimin.

Tadi saya sebut, pola umum pada partai sayap kanan dengan sentimen relijius, maksudnya, kaderisasi PKS memang berjenjang dan berlapis. Tiap orang yang akan menjadi kader akan mengikuti berbagai jenjang sampai menjadi kader inti. Dan tentunya, akan dibawah pengawasan kader senior, yang dalam terminologi PKS disebut sebagai Murrobi. Jenjang rekrutmen PK saat itu, dan PKS saat ini memang dimulai pada sekolah melalui wadah Rohani Islam.

Pencangkokan doktrin relijius politis pada usia dini dalam banyak studi perilaku pemilih memang menjadi dasar terbuktinya gaya parokial. Hal ini sudah dibahas dalam banyak studi perilaku pemilih di dunia ketiga. Struktur kaderisasi ini berakibat, pola komunikasi yang cendrung eksklusif (macam mereka saja yang Islam) pada masa sebelum pemilu dan menjadi sok akrab dan sok peduli pada masa jelang Pemilu.

Inilah penjelasan mengapa PKS selalu berupaya bertingkah "serba seolah-olah" dan menggunakan isu-isu agama yang puritan dalam komunikasi politiknya. Akibatnya, kader PKS akan cendrung stagnan atau dengan kata lain, segitu-gitu aja. Bagaimana membuktikannya? empirisnya saja, coba periksa mahasiswa baru yang digiring dan ditarget dalam mata kuliah agama Islam. Instrumen ini memang lazin digunakan khususnya pada perguruan tinggi negeri. Mahasiswa dijebak dalam kegiatan-kegiatan mata kuliah agama Islam. Tapi sayangnya, sebagian besar yang tergalang justru mereka yang pernah menjadi aktivis Rohis saat sekolah menengah. Ini bukti eksklusifitas penggalangan yang menyebabkan kader mereka cuma segitu-gitu saja.

Lebih lanjut bisa dibuktikan dari data kader PKS. Jangankan kader, PKS nyaris tidak bisa ikut pemilu karena kesulitan memenuhi syarat KPU tentang pembuktian jumlah anggota partai melalui kepemilikan kartu anggota. Sampai batas waktu penyerahan bukti tersebut, PKS masih menunggak. Entah bagaimana PKS bisa lolos di KPU.

Jadi, pada point ini, jumlah kader PKS paling banter ada di angka 3 persen pemilih. Dan apabila diasumsikan, semua kader tersebut memilih, maka bolehlah mereka merasa lega karena punya modal 3 persen suara dalam Pemilu.

Kader sebanyak 3 persen tersebut, angka ini hasil kompilasi histografi Pemilu 1999-2009, memang solid. Untungnya adalah, angka Golput tidak akan menggerus modal ini. Terlihat jelas dalam Pilkada Depok - Jawa Barat pada 2010, PKS menang dengan komposisi Golput yang lebih 30 persen. Di Pilkada Sumut, 2012, PKS menang justru saat angka Golput 30 persen juga. Dan di Jawa Barat, PKS menang dengan angka Golput 36 persen. Jadi jelas, Golput ternyata memenangkan PKS. Hal ini mempunyai pola yang sama dengan seperti yang dilakukan onderbouw PKS, KAMMI - walau KAMMI mati-matian membantah hal ini, yang menang dalam setiap pemilu raya Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. KAMMI selalu menang saat Golput mahasiswa tinggi.

Gaya PKS yang selalu menang ini memang mirip dengan pola Hyena "anjing pemakan bangkai" berburu. Hyena berburu bergerombol, berbeda dengan Harimau yang berburu sendiri. Singa juga berburu beramai-ramai, tapi yang menerkan pasti seekor singa yang paling jago. Beda, dengan Hyena yang menerkam saja keroyokan. Itulah analoginya. PKS selalu bergerombol baik dalam pemilu maupun menjarah "ghanimah" jika ada yang tertangkap maka si penangkap akan digonggong. Persis dengan perilaku Bung Mantap menggonggong KPK.

Kalaupun PKS pada 2004 dan 2009 bisa meraih lebih dari 3 persen itu karena suara simpatisan. Suara dari pemilih yang tertarik dan berhasil digalang oleh PKS. Namun, bagaimana dengan pemilu 2014?

Februari 2013, PKS dihantam dengan terungkapnya kasus Korupsi oleh Presiden PKS, LHI. Kontan saja, sebelan setelah itu, PKS anjlok elektabilitasnya dalam berbagai survei. Situasi tersebut memang sulit dengan ambisi PKS. Untung saja, jajaran DPP PKS sangat responsif merespon situasi "mati kau" tersebut dengan melakukan skema "cut off". LHI dicopot, dan diganti dengan AM, seorang yang terkenal "belatung" dalam Politik.

AM, ini memang sangat "belatung" dengan gayanya. Ingat Pilpres 2004, saat Presiden PKS saat itu, HNW sedang mesra dengan AR dari PAN. AM, sekjen PKS tersebut, malah "main gila" dengan Wiranto dan Mega. Entah berapa banyak "ghanimah" dari Mega dan Wiranto yang dibawa oleh AM. Sampai akhirnya PKS merapat ke SBY. ini cerita lama, tapi itulah gambaran perilaku AM.Pada 2004, PKS adalah parpol terakhir yang bergabung dengan koalisi SBY-Budiono. Setelah para aktor utamanya, AM, LHI, H menjarah "ghanimah" dari pasangan capres. Perilaku PKS akan selalu mendompleng Partai penguasa.

Kembali lagi ke dengan kasus LHI. Walau sudah divonis sebagai terpidana kasus Korupsi. kader-kader PKS rupanya tak pernah paham strategi politik "cut off". Jadi walaupun, DPP PKS sudah "cut off", kader-kadernya belum bisa "cut off". Ini fatal, ini titik lemah dalam seni strategi politik. Seandainya kader-kader PKS bisa "menghantam" LHI juga, sebagai tumbal partai tentu PKS akan lepas dari bulan-bulanan. Jika PKS bisa segera cuci tangan saat Pilpres 2009, walaupun menjadi bagian rezim SBY-JK. Rupanya kader-kader PKS tidak bisa segera cuci tangan dari bangkai yang dibawa oleh LHI. Inilah akibat dari doktrinisasi "tsiqah" yang keliru tersebut. Inilah juga bukti gaya parokial dalam pola pembinaan kader.

Ada bawaan orok dalam perilaku PKS. Hilangnya akal sehat. Dalam perilaku kelompok ini bisa disebut sebagai "group think". perilaku ini menempatkan kelompok sebagai sumber kebenaran. Akibatnya fatal, karena komplikasi dengan pola kaderisasi yang menggunakan sentimen agama. Sehingga muncul sikap mengindentifikasi partai sebagai ISLAM. Padahal, dalam konggres PKS 2010 di Bali, PKS setengah mati merubah diri menjadi partai tebuka dan inklusif. Tapi apa lacur, otak kader-kader PKS dan pengurusnya sudah dibuang jauh-jauh, seperti "onta yang membawa kitab - meminjam istilah dari Al-Ghazali". Tentu saja ini titik lemah PKS.

Ditambah lagi gaya hidup mewah ketua Majelis Syura-nya dan jajaran pengurus. Sangat kontras dengan militansi tanpa batas dan tanpa otak kader-kadernya. Membuat PKS diambang jurang degradasi. PKS telah ditinggalkan simpatisannya. Terlihat dari hasil survei berbagai Pollster. PKS hanya sanggup muter-muter pada angka dibawah 4 persen. PKS berpeluang untuk tidak dapat kursi di parlemen, DPR-RI. Karena tidak tembus ambang batas Parlementary Threshold.

Jadi, oke ini masuk agitasi, kita sudah melihat perilaku PKS baik pengurus, kader dan onderbouw yang sangat tidak tahu malu. Ada baiknya kita tidak membiarkan sapi dengan kulit Hyena tersebut kembali mendapat kursi di parlemen nasional, DPR-RI. Toh, kehadiran PKS hanya akan menjadi bagian dari rezim penguasa. PKS akan selalu berpihak pada pemenang, beda dengan PDIP yang mampu beroposisi secara terhormat. Mereka hanya akan sibuk dengan isu-isu SARA. Mengonggong kesana kemari.

Ada baiknya, kita mulai berpikir, menyempurnakan hukuman politik bagi PKS dengan mengusir mereka dari Parlemen. Agar tidak adalagi kantor Kementerian, Lembaga Negara dan Kepala Daerah yang dipegang oleh orang-orang dari Partai Sapi ini. Bukankah kita sudah melihat, tiap kantor kementerian, lembaga negara dan kepala daerah yang dipegang oleh "SAPI-SAPI" ini akan menjelma menjadi kantor partai.

Mari kita usir PKS dari Parlemen.

Bagi yang tidak senang dengan tulisan saya, silahkan cari kesenangan sendir. Saya tidak ada kewajiban menyenangkan anda.

Demikian dan  Bubarkan..!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun