Di Indonesia, keselamatan jurnalis masih menjadi masalah yang serius. Selama ini masih banyak kita jumpai terjadinya kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan. Tertulis pada pasal 4 UU Â pers mengatur bahwa pers nasional berhak, mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Pasal 18 mengatur bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik akan diancam pidana maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp.500 juta.
Namun kenyataannya aspek yang menonjol dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan masih diabaikan, sehingga bertolak belakang dengan pedoman-pedoman yang diharapkan dapat menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap seorang jurnalis atau wartawan.
Penganiayaan terhadap jurnalis atau wartawan di Indonesia tidak ada habis-habisnya. Tindak kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, Pada Sabtu 27 Maret 2021. Aksi kekerasan itu diterima Nurhadi saat sedang melakukan penugasan.
Kekerasan berupa penyiksaan dan penahanan terjadi pada saat Nurhadi berusaha melakukan peliputan terhadap Angin Prayitno Aji atas dugaan korupsi, mantan Direktur Penyidikan Administrasi Perpajakan Negara Kementerian Keuangan. Sebelumnya, Angin Prayitno Aji telah diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi.
Wahyu Dhyatmika, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, mengatakan kejadian itu bermula ketika pengawal Angin menuduh Nurhadi memasuki pesta pernikahan anak Angin tanpa izin. Lokasi kejadian terjadi di gedung Graha Samudra Bumimoro (GSB) Kompleks Komando Pengembangan Kodiklatal Surabaya. Nurhadi dipukul berkali-kali dan ditahan di hotel selama 2 jam, untuk memastikan bahwa Nurhadi tidak melaporkan perbuatannya.
Dewan Pers banyak membenarkan kegiatan yang dilakukan oleh Nurhadi, karena apa yang dilakukannya adalah tugas dari seorang jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan publik. Jenis kasus seperti ini, penganiayaan terhadap jurnalis atau wartawan adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Sehingga Dewan Pers meminta agar pihak Kepolisian mengusut tuntas kasus ini.
Yang dilakukan oleh Nurhadi merupakan tugas media dalam memberikan kesempatan kepada narasumber untuk menjelaskan kasus-kasus yang melibatkan mereka. Selain itu, konfirmasi merupakan bentuk itikad baik dan profesionalisme media. Setiap sumber tertulis harus ada dalam pemberitaan.
Pada 11 Maret 2021, M. Yasin Payapo Bupati Seram Bagian Barat (SBB), melarang tiga wartawan untuk meliput di kantornya. Dalam keterangannya, Pemkab SBB melarang wartawan Yasmin Balli (Malukunews.com), Yionli (Terasmaluku.com) dan Moses Rutumalesi (nusaelaknews.com). Tidak hanya itu saja, Payapo mengatakan aktivitas jurnalis di kantor pusat tidak diperbolehkan atau sumber informasi di setiap organisasi perangkat daerah (OPD) di kabupaten tersebut bakal dikunci.
Dua hari setelah kejadian, wartawan Liputan6.com Akbar Fua yang sedang bertugas di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Selatan, mengalami koma. Dia mendapatkan ini setelah menulis sebuah cerita berjudul "Ratusan Orang Duduk di Kantor Polisi Konawe dalam Acara Mencari Keadilan."
Menurut data propaganda AJI, 848 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi sejak 2006. Sementara proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2020.
Sedangkan dari sisi kekerasan fisik, terdapat 258 kasus, pengusiran atau pelarangan perlindungan 92 kasus, terorisme 77 kasus, perusakan alat atau data 58 kasus karena ditutup-tutupi, dan 41 kasus ancaman kekerasan.
Sedangkan untuk pelaku kekerasan terhadap jurnalis, massa dan polisi memiliki pelaku terbanyak, masing-masing 60 kali, 36 kali untuk orang tak dikenal atau tak dikenal, dan 17 kali untuk orang tak dikenal. 60 kasus.
Dalam kasus kekerasan yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik menjadi tanggung jawab bersama lembaga pers, organisasi profesi jurnalistik dan Dewan Pers. Pers nasional sebagai sarana komunikasi massa, dapat membentuk opini publik dan melaksanakan fungsi dan kewajiban beserta perannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
Kekerasan yang dilakukan kepada jurnalis harus ditangani dengan serius dan diusut tuntas sehingga tidak terjadi lagi kekerasan berikutnya, dan kita semua tahu bahwa kekerasan merupakan perbuatan yang fatal sehingga sangat merugikan. Dengan demikian, kemerdekaan pers membutuhkan ruang kebebasan dalam menjalani fungsinya sebagai penyampai informasi publik, serta menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat.
Selain itu, jurnalis atau wartawan dalam menjalankan tugasnya juga harus menggunakan identitas yang lengkap sehingga tidak adanya kesalahpahaman.
Perlindungan terhadap wartawan atau jurnalis tidak hanya dari Lembaga Pers saja, diperlukan adanya partisipasi dari pihak lain seperti aparat penegak hukum dan masyarakat itu sendiri, untuk membangun budaya taat hukum bagi masyarakat sehingga perlindungan hukum terhadap jurnalis dalam menjalankan profesi jurnalistik dapat dilakukan secara maksimal.
Penulis: Reza Ardiansyah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi -- Universitas Muhammadiyah Malang.
Twitter: @rezardiannnn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H