Juaranya Persis Solo di Liga 2 tentu membuat publik Solo Raya gegap gempita dalam menyambut kembalinya Laskar Sambernyawa ke level tertinggi. Klub tua yang juga termasuk pendiri PSSI ini telah lama hanya menjadi penghuni semenjana level bawah piramida sepak bola Indonesia. Padahal fanatisme fans Persis menjadi salah-satu yang terkuat di Indonesia.
Tapi meskipun Persis sendiri jarang tergabung di level tertinggi, nadi sepak bola di Kota Solo tak pernah berhenti. Sejak dulu banyak tim datang dan pergi di Solo, mereka selalu menyambut ramah siapapun itu. Persis laksana tuan rumah yang tak keberatan berbagi kandang dengan tim-tim itu, meski bayarannya kepopuleran Persis agak terkikis.
Sebelum kemarin menyegel juara Liga 2, terakhir kali Persis menangangkat trofi ada di Divisi II musim 1994. Bahkan kalau di level tertinggi tim tua ini terakhir berjaya di ajang Perserikatan 1943, ketika Indonesia masih diduduki oleh tentara Jepang. Selama itu pula Solo jadi rumah berbagai klub berbagi kue dengan Persis.
Tentu nama Arseto berkelindan jadi kesebelasan terkenal lainnya yang memutuskan Solo jadi rumahnya. Arseto diboyong oleh putra presiden Soeharto, Sigid Herdjojudanto dari Stadion Utama Senayan ke Solo menyusul tuntasnya renovasi Sriwedari. Menyulap bangunan bekas RS di Kadipolo, Arseto memaku dirinya jadi tim yang disegani di kancah Galatama.
Pernah diperkuat pemain bernama besar macam Nasrul Koto, Eduard Tjong, dan Rochi Putiray cukup membuat Arseto menyabet juara Galatama 1992 dan kompetisi klub Asean 1993. Sayang kondisi turbulensi politik di 1998 memaksa klub milik keluarga Cendana ini disuntik mati sebelum musim 1998 diputar. Kerusuhan laga lawan Pelita Jaya menutup perjalanan tim biru langit ini.
Solo kemudian punya tetenger sepak bola baru dengan berdirinya Stadion Manahan yang segera jadi primadona sampai sekarang. Datanglah klub kepunyaan keluarga konglomerat Bakrie, Pelita Jaya di awal milenium baru.Â
Nama pun dipugar jadi Pelita Solo agar lebih dekat dengan para pendukungnya. Sebenarnya Pasoepati yang sekarang jadi garda fanatik Persis Solo terbentuk untuk mendukung Pelita Solo yang baru datang.
Pelita memang sebelum menetapkan berkandang di Solo sudah punya sejarah mentereng. Mereka pernah diperkuat Roger Milla dan Mario Kempes di masa senjanya dan mereka memboyong pemain-pemain berkualitas ke Solo. Masih diperkuat Seto Nurdiantoro, Bako Salissou, hingga bek tanggu Aples Tecuari.Â
Sayangnya jodoh Solo dan Pelita berakhir di tahun 2002 menyusul pindahnya Pelita ke Banten dan bertransformasi jadi Pelita KS.
Tak masalah Pelita pergi, nyatanya Solo menarik minat klub asal ibukota lagi. Datanglah Persijatim dari Jakarta Timur yang merasa dipinggirkan oleh Gubernur Sutiyoso yang lebih mengutamakan Persija. Pindahlah skuad yang kala itu diisi Ismed Sofyan, Hary Salisbury, hingga Eka Ramdani. Kemudian menyusul musim depannya datang Ferry Rotinsulu dan bomber Greg Nwokolo.
Kembalinya tontonan kelas sepak bola satu disyukuri kota yang telah ditinggal Arseto dan Pelita ini. Pasoepati pun total untuk menyokong tim yang kemudian berubah nama jadi Persijatim Solo FC ini. Sayang selama dua tahun berumah di Solo, Persijatim hanya berkutat di papan tengah Liga Bank Mandiri.
Diiringi Persis sebagai tuan asli yang mulai diperhatikan oleh pemerintah setempat, Persijatim dibeli oleh Pemprov Sumsel yang kala itu dipimpin Syahrial Oesman dan diboyong ke bekas venue PON Palembang.Â
Nama pun diubah menjadi Sriwijaya FC sekaligus mengobati kerinduan warga Sumsel yang dulu pernah punya Krama Yudha Tiga Berlian FC di masa Galatama.
Setelah itu adalah masa dimana Kota Solo terutama Stadion Manahan jadi favorit bagi tim yang sedang menjalani laga usiran. Persija tentu jadi nama yang lumrah menyewa Manahan ketika sedang jadi tim musafir, begitu pula Sriwijaya FC yang seolah melakukan napak tilas ketika Sumsel dilanda kabut asap pekat. Persik Kediri pun memutuskan berkandang di Manahan ketika berlaga di Liga Champions Asia.
Fasilitas yang memadai dan Persis yang seolah tidur panjang memang membuat Solo jadi tempat yang pas bagi tim musafir. Bahkan terakhir Bhayangkara FC memutuskan meninggalkan Stadion PTIK dan memutuskan Manahan sebagai homebase. Jelas musim depan mereka bakal berbagi tempat dengan Persis yang mentas ke Liga 1.
Solo memang unik dalam keterbukannya menyambut siapapun yang datang untuk menjadikan kota mereka rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H