Tak masalah Pelita pergi, nyatanya Solo menarik minat klub asal ibukota lagi. Datanglah Persijatim dari Jakarta Timur yang merasa dipinggirkan oleh Gubernur Sutiyoso yang lebih mengutamakan Persija. Pindahlah skuad yang kala itu diisi Ismed Sofyan, Hary Salisbury, hingga Eka Ramdani. Kemudian menyusul musim depannya datang Ferry Rotinsulu dan bomber Greg Nwokolo.
Kembalinya tontonan kelas sepak bola satu disyukuri kota yang telah ditinggal Arseto dan Pelita ini. Pasoepati pun total untuk menyokong tim yang kemudian berubah nama jadi Persijatim Solo FC ini. Sayang selama dua tahun berumah di Solo, Persijatim hanya berkutat di papan tengah Liga Bank Mandiri.
Diiringi Persis sebagai tuan asli yang mulai diperhatikan oleh pemerintah setempat, Persijatim dibeli oleh Pemprov Sumsel yang kala itu dipimpin Syahrial Oesman dan diboyong ke bekas venue PON Palembang.Â
Nama pun diubah menjadi Sriwijaya FC sekaligus mengobati kerinduan warga Sumsel yang dulu pernah punya Krama Yudha Tiga Berlian FC di masa Galatama.
Setelah itu adalah masa dimana Kota Solo terutama Stadion Manahan jadi favorit bagi tim yang sedang menjalani laga usiran. Persija tentu jadi nama yang lumrah menyewa Manahan ketika sedang jadi tim musafir, begitu pula Sriwijaya FC yang seolah melakukan napak tilas ketika Sumsel dilanda kabut asap pekat. Persik Kediri pun memutuskan berkandang di Manahan ketika berlaga di Liga Champions Asia.
Fasilitas yang memadai dan Persis yang seolah tidur panjang memang membuat Solo jadi tempat yang pas bagi tim musafir. Bahkan terakhir Bhayangkara FC memutuskan meninggalkan Stadion PTIK dan memutuskan Manahan sebagai homebase. Jelas musim depan mereka bakal berbagi tempat dengan Persis yang mentas ke Liga 1.
Solo memang unik dalam keterbukannya menyambut siapapun yang datang untuk menjadikan kota mereka rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H