Negara manapun pasti bakal jujur jika ditanya apakah sanggup membiayai semua kegiatan olahraga warganya demi mengejar prestasi. Pasti jawabannya bakal berat dan mirip perjudian sebab kemungkinan pulang tanpa membawa medali sangat tinggi. Maka dari itu biasanya ada swasta-swasta baik hati yang mau ikut berpeluh ngurusi pembinaan di beberapa cabor.
Grup produsen kendaraan bermotor raksasa Hyundai dikenal dengan fokusnya mengembangkan cabor panahan di Korea Selatan. Bahkan dengan dukungan divisi penelitian dari Hyundai sendiri, mereka mengembangkan teknologi untuk lebih membantu atlet panahan Korea Selatan. Hasilnya kerja sama yang dijalin sejak 1985 ini rutin menyumbangkan emas di Olimpiade, termasuk di gelaran Tokyo 2020 kemarin yang sukses menggondol empat emas.
Sedangkan di Indonesia tentu contoh paling tenar ada di Djarum Foundation dengan PB Djarum-nya. Melalui penyaringan bakat masif dan latihan yang efektif klub bulu tangkis asal Kudus ini rutin mengirimkan binaan terbaiknya untuk supremasi bulu tangkis Indonesia. Nama Kevin Sanjaya, Sigit Budiarto, hingga Liem Swie King pernah ditempa di sini.
Sayangnya kontroversi antara Djarum Foundation dengan KPAI belakangan ini membuat PB Djarum sedikit tergerus. Mereka pun mengumumkan untuk menghentikan seleksi besar-besaran yang sebenarnya rutin mereka lakukan untuk menjaring bakat dari seluruh Indonesia.
Kala itu banyak yang takut sikap keras kepala antara KPAI dan pihak Djarum Foundation bisa berujung mundurnya PB Djarum secara keseluruhan. Tentu Indonesia punya pengalaman pahit ketika itu Gudang Garam berpisah dengan tenis meja dan Wismilak yang memapras afiliasinya dengan tenis lapangan.
Tidak semua pihak swasta setelaten Djarum, Gudang Garam maupun Wismilak dalam sumbangsihnya ke olahraga. Kemarin kita lihat berbagai sponsor berbondong-bondong menjanjikan bonus tambahan apabila timnas juara di Piala AFF 2020. Bisa dibilang levelnya ini belum sepadan dengan tiga nama begawan kretek itu.
Ketika bos besar Gudang Garam, Rachman Halim meninggal dunia di 2008, seketika itulah dunia tenis meja Indonesia meregang nyawa. Gudang Garam kala itu adalah kiblat ping-pong Indonesia, tak seperti sepak bola atau bulu tangkis yang sudah banyak klubnya, klub tenis meja masih minim dan PTM (perkumpulan tenis meja) Surya Gudang Garam lah yang paling bonafide.
Sejak berdiri di era 1980-an memang sepenuhnya PTM Surya Gudang Garam dibiyai oleh perusahaan rokok asal Kediri itu. Pihak pimpinan Gudang Garam yang baru pun memutuskan memangkas pos pengeluaran berlebih dan klub tenis meja pun langsung dibubarkan. Tak tanggung-tanggung tiap tahunnya Gudang Garam bisa habis Rp 3 milyar untuk menyokong pembinaan tenis meja. Termasuk biaya latihan, beasiswa, hingga mengirim untuk kejuaraan.
Matinya bara di PTM Surya Gudang Garam segera melenyapkan prestasi tenis meja Indonesia. Sejak Sea Games 2009 Indonesia tak lagi meraih emas di cabor tenis meja. Malah di Sea Games 2019 kontingen tenis meja Indonesia dicoret dari keikutsertaannya. Hal yang disebabkan masalah konyol khas Indonesia, pecahnya kepengurusan, bahkan PBTMSI pecah jadi tiga kubu. Padahal di masa jayanya sumbangan emas rutin diberikan oleh cabor ini.
Petenis meja legendaris Rossi Syechbubakar bahkan sepanjang karirnya mengoleksi total 13 emas Sea Games. Perempuan keturununan Alawiyin dari cabang Syech Abu Bakar bin Salim ini malah pernah sapu bersih empat emas di Sea Games 1993. Hal yang mungkin terasa utopis bagi PBTMSI sekarang.
Sedangkan peran Wismilak agak berbeda dengan Djarum maupun Gudang Garam di sektor tenis lapangan. Mereka menjadi sponsor utama bagi kejuaraan tour WTA (asoasi petenis wanita) bertajuk Wismilak Internasional sejak 1994 dan masuk tier III kalender WTA. Adanya turnamen dunia di negara sendiri tentu memudahkan atlet Indonesia ikut serta dan menambah pengalaman.
Pasangan Yayuk Basuki-Romana Tedjakusuma menjadi juara di penyelenggaraan pertama dan Angelique Widjaja menyabet juara di 2001. Peran besar perusahaan rokok berlogo kakek tua itu adalah pemberian wild card bagi atlet lokal. Mekanisme wild card menjadikan atlet yang rangkingnya tak memenuhi syarat bisa ikutan turnamen dan pihak WTA menyerahkan sepenuhnya hak ini pada panitia penyelenggara.
Sayangnya Wismilak megakhiri kerja samanya dengan WTA sejak 2006. Turnamen pun diambil alih oleh Commonwealth Bank mulai 2007 dan hanya bertahan sampai 2011 kemudian diboyong dari Bali ke Sofi, Bulgaria. Tentu kehilangan turnamen internasional yang rutin digelar di dalam negeri menjadi pukulan untuk dunia tenis Indonesia. Mungkin setara apabila Indonesia kehilangan jatahnya menyelenggarakan Indonesia Open di bulu tangkis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H