Pertama kali saya mengikuti Piala Dunia di 2002, harus mengalami pahitnya Italia yang kala didukung harus pulang dalam laga berdarah lawan Korea Selatan.Â
Tak lain tak bukan di laga yang dipimpin Byron Moreno itu pertama kalinya saya belajar apa arti kalah dalam mendukung sebuah kesebelasan. Melihat Christian Vieri dan Francesco Totti menangis di Daejeon.
Empat ke tahun kemudian di gelaran Jerman 2006 ada suatu hal manis yang disuguhkan. Australia yang kembali ke Piala Dunia setelah terakhir kali di 1974 berhasil keluar dari fase grup menyingkirkan Kroasia dan Jepang.Â
Secara epik Australia yang kala itu masih berafiliasi dengan Oseania mengangkangi Uruguay dalam play-off lewat adu pinalti. Berkat dua kali tepisan Mark Schwarzer, sepak bola kembali hidup di Australia.
Kesamaan dari kedua momen itu adalah satu nama, seorang wondermaker bernama Guus Hiddink. Sosok pelatih journeyman di berbagai klub dan tim nasional dan salah-satu pelatih asal Belanda yang paling dihormati.Â
Namanya sering jadi bahan di Indonesia candaan karena Guus/Gus disamakan dengan gelar Gus yang berarti anak seorang kiai/ulama. Hiddink sendiri sudah menyatakan mundur dari kepelatihan per september lalu, setelah pernah terjangkit covid-19.
Mengawali karir kepelatihan di PSV sebagai salah satu timnya ketika menjadi pemain di masa mudanya. Hiddink langsung melejit bersama PSV bahkan pernah meraih treble di musim 1987-88.Â
Meski begitu karirnya anjlok setelah ia memutuskan berpetualang ke Fenerbahce dan Valencia. Diikat untuk menukangi Belanda di 1995, Hiddink juga terbilang medioker dan gagal memaksimalkan talenta luar biasa Belanda di Euro 1996 dan Piala Dunia 1998.
Titik balik bagi karirnya adalah ketika di Korea Selatan. Sebagai tuan rumah tentu Korsel tak mau malu dengan tersingkir di fase grup, target baginya sangat jelas untuk lolos ke babak gugur. Sejak ikutan di edisi Meksiko 1986, Korsel selalu mandek di fase grup.
Nyatanya Hiddink yang serig diragukan sebelum gelaran memberi hasil yang melampaui ekspektasi. Lolos sebagai juara grup sekaligus memulangkan Portugal, mengangkangi Italia dan Spanyol di babak gugur membuat Hiddink begitu dipuja.Â
Hal yang bagi publik Korsel manis sebab capaian semifinal sekaligus meruntuhkan rekor sebelumnya bagi negara asia di Piala Dunia milik Korut yang menembus perempat final di 1966.
Saking bangganya Korsel atas Hiddink namanya diabadikan sebagai stadion di kota Gwangju. Selain itu dia mendapat berbagai penghargaan seperti warga kehormatan Seoul, gelar kedoktoran dari Universitas Seoul, hingga tiket gratis dari maskapai penerbangan.Â
Meski begitu, Hiddink langsung mundur dari jabatannya dan pulang untuk melatih PSV.
Agaknya PSV dan Hiddink sudah menyatu dalam sebuah kata, yaitu kesuksesan. PSV semakin mendominasi Eredivisie semenjak datangnya Hiddink. Tapi ada hal unik ketika di tahun 2005, ada tawaran datang dari Australia untuk mengisi pos pelatih utama.
Tawaran pun akhirnya disambut oleh Hiddink sekaligus tak meninggalkan posnya di Eindhoven. Menangani dua tim dengan jarak ribuan kilometer ternyata tak membuatnya mendapat hasil minor.Â
Australia yang lama absen pun ia bawa ke kembali ke Piala Dunia, membentuk permainan solid yang mengedepankan pertahanan kokoh. Australia mampu lolos ke babak gugur meski harus tersingkir oleh penalti menit akhir Totti.
Selain PSV, Korsel, dan Australia nama Guus Hiddink pun harum di Stamford Bridge. Dua kali Hiddink berperan sebagai juru selamat bagi Chelsea yang sedang bobrok.Â
Pertama ia datang di akhir musim 2008-09 menggantikan Luiz Felipe Scolari yang dipecat, lagi-lagi datang tanpa melepas statusnya sebagai pelatih di tempat lain, kala itu Rusia.
Dia berhasil menangani para pemain dan berhasil mempersembahkan Piala FA di hari terakhirnya. Para pemain Chelsea dengan berat hati harus melepasnya. Kedua kalinya ia datang setelah Chelsea remuk di tangan musim ketiga Jose Mourinho di akhir tahun 2015.Â
Dia berhasil mengerek Chelsea ke posisi 10 dengan catatan 12 tanpa kalah, rekor untuk pelatih baru. Dia juga kan diingat oleh fans Leicester City berkat jasanya menahan imbang Tottenham di pekan 35 yang memastikan gelar bagi The Foxes.
Bisa dibilang sebagai pelatih dengan CV panjang dan banyak tim, Guus Hiddink seringkali memberi kenangan manis di tiap-tiap tempat ia singgah. Membuat mereka yang ia datangi kembali percaya akan turunnya keajaiban dan tak lelah berharap.Â
Rasanya memang pantas menjajarkan namanya berdampingan dengan Rinus Michels dan Johann Cruyff dalam konstelasi pelatih Belanda paling berpengaruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H