Seusai Manchester United  menyudahi perlawanan Wolverhampton Wanderes laga Liga Primer Inggris nama Fred menghiasi banyak kolom media sosial. Sebenarnya sudah semenjak bergabung pada 2018, Fred sudah akrab akan roller coaster opini atas penampilannya.Â
MU menebusnya sisa empat musim kontraknya dari Shaktar Donetsk dengan harga tak murah, 53 juta. Meski banyak menuai cibiran disasterclass-nya, lewat tulisan ini saya mengajak pembaca untuk sedikit mengapresiasi kerja kerasnya di Molineux semalam.
Ya benar, hal yang patut diapresiasi adalah kerja kerasnya. Pria kelahiran Belo Horizonte ini tak lain adalah orang yang dipilih Ole Solskjaer untuk menduduki role gelandang bertahan (DM) tadi malam.Â
Wolves jelas bukan lawan sepele, semenjak 2018 pertemuan keduanya tak pernah berakhir dengan margin dua gol atau lebih. Apalagi tadi malam adalah laga tandang dan ditambah semangat membuncah Wolves mengincar poin perdananya.
Terus terang apa yang terjadi di lapangan adalah bencana bagi Fred. Amunisi serang Wolves berisikan Adama Traore dan Trincao dengan segala daya lebaknya, terutama Traore yang rangka tubuhnya mirip seorang running back american football.Â
Apa yang dipunya Fred? Tingginya saja tak sampai 170 cm dan skil jelas tak mencukupi perannya tadi malam sebagai holding midfielder. Berkali-kali Fred malah kalah tanding dan dieksplotasi.
Tapi kenapa Ole memilih pemain yang pada laga sebelumnya mencetak gol bunuh diri di peran sevital gelandang bertahan?, jelas jawabannya karena tak ada yang lain. Bisa dibilang sektor inilah lubang terjelas skema permainan MU musim ini, ketiadaan DM yang mumpuni.Â
Peran terbaik Fred adalah saling bahu membahu bersama McTominay menyisir lapangan sebagai double pivot. Sayangnya McTominay harus menepi sebab cedera.
Ada nama Matic sebagai DM murni yang tersisa di skuad musim ini. Sekali lagi sayangnya Matic sudah termakan usia. Duet Fred-Matic yang dicoba Ole di laga sebelumnya lawan Soton berbuah prahara setelah Matic sama sekali tak efektif, ditambah kurang klopnya kerja sama dirinya dengan Fred.Â
Nama tersisa macam Van de Beek atau Lingard jelas mudah saja dicoret dari opsi. Memaksa Pogba turun jauh ke belakang dengan kewajiban memutus serangan?, jelas tindakan bunuh diri.
Dipilihnya Fred tak lain tak bukan ialah terbaik diantara terburuk. Maka tak mengherankan tak ada hal istimewa dari penampilannya tadi malam. Benar-benar membahayakan bagi para bek MU, untung saja back four tadi sedang solid dan De Gea tampil kesetanan. Meski tampil buruk terutama di babak pertama, sebenarnya Wolves sendiri lah yang tampil lebih buruk dibanding Fred.
Total 57 tembakan dalam tiga pertandingan tanpa sekalipun berbuah gol. Serangan Wolves adalah antonim dari bermain efektif, tadi malam saja ekspektasi gol Wolves mencapai 2,01 berbanding MU yang Cuma 0,66. Memang benar Traore mempermalukan Fred dengan ledakan giringannya, atau Trincao yang bermain penuh flair, tapi bahkan jala De Gea tak bergetar sekalipun.
Tugas yang dibebankan ke dirinya mungkin cuma satu. Ganggu sebanyak mungkin semua build-up serangan Wolves, beri sebanyak mungkin waktu bagi bek dan kiper untuk positioning.Â
Dan ya, nyatanya dengan tak adanya kebobolan tugas itu terselesaikan oleh Fred meski tak bisa dibilang dengan baik. Penampilannya di babak kedua juga tak semengerikan di paruh pertama dan sekali lagi terbantu betapa tak efektifnya serangan Wolves.
Akhirnya lagi-lagi saya kembali mengajak untuk mengapresiasi kerja kerasnya tadi malam. Ya benar dia adalah titik lemah, dia tak bermain bagus, dia mudah ditembus, tapi hanya dia yang dipunya untuk saat ini.Â
Tapi MU cukup berharap Fred sebagai DM tetap? Jelas jawabannya adalah tidak. Tak semua tim seburuk Wolves dalam konversi peluang. Fred seperti yang disinggung di awal tulisan ini, DM bukanlah bentuk paling bijaksana untuk mengeluarkan potensinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H