Bagaimana pun juga otoritas hanya milik Taylor untuk menghakimi perbuatan James dan dia memilih mengusirnya ke ruang ganti. Tayor jelas bukan seorang mentalist yang bisa membaca pikiran orang lain, melalui keyakinan James mendorong bola sebagai gerakan sengaja yang diperkuat VAR membuat dia yakin akan keputusannya. Wasit memang tak bisa selamanya membuat keputusan benar, tapi mereka wajib 'ain hukumnya untuk yakin dengan keputusannya.
Masalah nantinya Chelsea mengusahakan banding untuk kartu merah ke FA adalah urusan lain di meja hijau. Hal seperti ini mengingatkan saya pada keputusan De Ligt 'menyapu' bola dengan tangannya ketika di Euro 2020 lalu. Bagi saya kesalahan James sama saja dengan De Ligt, bedanya James sekaligus menggagalkan bola melayang melewati garis. Suatu intervensi yang menurut saya sudah sangat patut diganjar usiran.
Salah seorang jurnalis kawakan yang juga pernah lama menetap di Inggris, mas Yusuf 'Dalipin' Arifin punya suatu insight menarik mengenai ini. Dalam olahraga kriket yang sering dipandang sebagai olahraga para golongan atas Inggris, seluruh pemain dengan lapang dada menerima setiap keputusan wasit. Bahkan seorang pemain bisa dengan suka rela keluar arena tanding jika ia berbuat kesalahan bahkan sebelum wasit dan lawan mengetahui kesalahannya. Sungguh suatu pengejawantahan gentlement yang luar biasa.
Tapi jangan harap hal seperti itu akan banyak ditemui di lapangan sepak bola. Apalagi di Italia.
Oh, jangan lupa juga kejadian Fariq Hitaba menganggap kelakuan Yevhen mengganggu penjaga gawang Persita di liga lokal juga sama memantik kicau sana-sini. Jika masih penasaran kenapa Taylor keukeuh mengacungkan kartu merah, monggo baca dan intepretasikan pasal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H