Akad mudharabah adalah salah satu produk utama dalam perbankan syariah yang paling banyak disetujui oleh para Ulama', selain musyarakah. Produk ini dianggap sebagai salah satu komponen penting yang mendukung perkembangan pesat ekonomi syariah di Indonesia. Dalam akad ini, pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib) bekerja sama dalam sebuah kemitraan untuk memperoleh keuntungan bersama (al-ribh). Keuntungan yang dihasilkan kemudian dibagi kepada kedua pihak sesuai dengan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Mudharabah sebagai skema pembiayaan dalam keuangan Islam, kini menjadi salah satu model yang menjanjikan. Penelitian tentang pembiayaan mudharabah semakin banyak, dan penggunaannya dalam bisnis terus berkembang. Beberapa ahli keuangan dan ekonomi Islam menyatakan bahwa akad mudharabah adalah model pembiayaan yang masuk akal dan efektif.
Dalam sistem perbankan syariah saat ini, terdapat dua jenis skema bagi hasil dalam konsep mudharabah: skema bagi untung dan rugi serta skema bagi pendapatan. Masing-masing skema memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan berbagai pertimbangan, banyak bank syariah memilih menerapkan prinsip bagi hasil sebagai dasar perhitungan dalam akad mudharabah.
Pada praktiknya, produk mudharabah terbagi menjadi dua jenis: Mudharabah Mutlaqah dan Mudharabah Muqayyadah. Mudharabah Mutlaqah adalah akad kerja sama dengan cakupan yang luas, tanpa batasan waktu, jenis usaha, atau wilayah bisnis. Sebaliknya, Mudharabah Muqayyadah dibatasi oleh waktu, jenis usaha, dan wilayah bisnis. Saat ini, mayoritas bank syariah lebih memilih Mudharabah Mutlaqah karena memberikan keleluasaan bagi bank dalam menyalurkan dana kepada nasabah. Sementara itu, Mudharabah Muqayyadah kurang diminati dan jarang diterapkan karena prosedurnya dianggap rumit dan sulit dijalankan oleh banyak nasabah.
Saat ini, transaksi dengan skema mudharabah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008. Undang-undang ini memperkenalkan beberapa lembaga hukum baru yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional untuk meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, transaksi menggunakan akad mudharabah pada produk perbankan syariah kini memiliki landasan yuridis yang kuat.
Sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 21 Tahun 2008, akad pembiayaan mudharabah dirinci lebih lanjut dalam Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000, yang menjadi pedoman bagi akad tersebut. Dewan Syariah Nasional memiliki wewenang untuk memberikan teguran atau peringatan kepada bank syariah yang menyimpang dari pedoman dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Teguran atau peringatan ini diberikan setelah Dewan Syariah Nasional menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah tentang adanya penyimpangan dari pedoman atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
Dalam sistem keuangan Islam, semua pengaturan keuangan didasarkan pada pembagian risiko dan keuntungan. Prinsip ini menjadi dasar kontrak mudharabah, di mana bagi hasil berarti pembagian keuntungan antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) berdasarkan hasil usaha yang telah dijalankan. Keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika terjadi kerugian finansial dalam kemitraan ini, shahibul maal akan menanggung seluruh kerugian tersebut. Namun, jika kerugian terjadi karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus menanggung seluruh kerugian tersebut tanpa pengecualian.
Dalam perspektif fiqih, akad mudharabah didasarkan pada prinsip kepercayaan (amanah) dan wakalah. Dengan demikian, mudharib berperan sebagai al-amin (orang yang dipercaya) oleh shahibul maal. Dana yang diserahkan kepada mudharib dianggap sebagai bentuk amanah dari shahibul maal. Oleh karena itu, mudharib tidak akan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi kecuali jika terbukti adanya penyalahgunaan, kelalaian, atau tindakan yang menyimpang dari kewenangan yang diberikan kepadanya.
Mayoritas kalangan perbankan syariah dan Ulama' sepakat bahwa skema bagi hasil merupakan model pembiayaan yang paling sesuai untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan ekonomi masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Monzer Kahf. Oleh karena itu, prinsip bagi hasil yang terdapat dalam konsep mudharabah pada dasarnya menjadi inti dari sistem perbankan syariah. Hal ini disebabkan oleh
Pertama, skema bagi hasil pada bank syariah memiliki potensi untuk mengurangi risiko terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan karena bank syariah mengoperasikan lembaga keuangan berbasis aset. Ini menandakan bahwa bank syariah melakukan transaksi berdasarkan aset riil, bukan hanya berdasarkan dokumen atau kertas kerja seperti yang umum dilakukan oleh bank konvensional. Sebagai perbandingan, bank konvensional cenderung memberlakukan suku bunga kepada nasabahnya, sementara bank syariah lebih memprioritaskan transaksi yang didukung oleh aset riil.
Kedua, meningkatkan iklim investasi dapat secara simultan menciptakan peluang lebih luas untuk lapangan kerja, yang pada akhirnya akan membantu mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat.