Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Bola

Bhayangkara FC Juara Kontroversi, Sebaiknya Polisi Benahi Diri

10 November 2017   19:31 Diperbarui: 10 November 2017   19:36 2896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liga 1 Indonesia musim 2017 telah berakhir dengan skor 3-1 antara Bhayangkara FC dan Madura  United diakhiri selebrasi juara oleh para pemain klub milik kepolisian republik indonesia. Sayang masih banyak  pihak mempertanyakan hal ini bahkan dari para profesional olahragawan sepakbola Indonesia. 

Gelandang Persija Jakarta Ramdani Lestaluhu mengetik lewat media sosialnya "Kok aneh ya juaranya? Apa cuma perasaan aja?" bahkan Sylvano Comvalius penyerang Bali United yang secara poin murni harusnya Bali United ada diatas Bhayangkara FC sampai mengetik sindiran "Indonesian Super Circus League". 

Seakan tidak mau kalah beberapa senior seperti Bambang Pamungkas, Ricardo Salampessy sampai Hamka Hamzah ikut mengetikan komentar bernada kekecewaan. Usut punya usut pangkal masalahnya ada pada beberapa "keistimewaan" Bhayangkara FC dari mulai perlakuan khusus polisi pada pengamanan laga sepakbola sampai bonus poin diluar jalur murni pertandingan.

 Sejarah olahraga pada khususnya sepak bola mencatat awal mula keterlibatan polisi  hanya pada petugas  keamanan saja  tidak ikut main bola pada klub kompetisi sipil. Masuknya polisi ke dalam stadion sepak bola untuk bermain bola bersama sipil hanya sebatas pertandingan persahabatan saja bukan kompetisi. 

Entah karena apa mungkin karena euforia pelebaran kekuasaan polisi di masa damai turut serta membuat kepolisian republik indonesia masuk dalam kompetisi dan seolah tidak mau kalah dengan TNI melalui PS TNI. Momentum masuknya kedua lembaga bersenjata ke dalam kompetisi olahraga sepakbola dimulai dari kisruh dualisme PSSI dan KPSI yang berakhir pada pembekuan status sepakbola Indonesia oleh FIFA. 

Dulu Sipil galau tak punya kompetisi hingga pemerintah turun tangan gandeng TNI dan Polisi serta lembaga lain adakan kerjasama kompetisi sepakbola nasional yang sekarang berakhir pada multifungsi lembaga bersenjata dalam olahraga indonesia khususnya sepakbola. 

Kepolisian Indonesia melalui Bhayangkara FC beberapa kali tercatat melakukan tindakan yang berbuntut pada kasus yang memicu perdebatan  atau kontroversi. 

Pertama, polisi masuk memanfaatkan dualisme klub legendaris persebaya  surabaya melalui penggunaan hak tampil sehingga  dijuluki klub siluman. Kedua, tim yang berjuluk resmi the guardian ini selalu memiliki penonton lapangan pada tiap laga bahkan saat laga yang jelas mengharuskan larangan penonton lapangan sebab polisi selalu dapat masuk stadion  sebagai petugas keamanan. 

Ketiga, pihak komdis  atau komite disiplin serta penyelenggara acara terkesan selalu mengabulkan klaim Bhayangkara FC sehingga dapat bonus poin. Keempat, komposisi klub ini tergolong komplit dari mulai pemain asing, pemain sipil senior sampai pemain polisi merupakan kombinasi mematikan olahraga sepakbola. Jelasnya tagline polisi humanis sudah  melebur  sampai jauh ke dalam stadion sepakbola sehingga tak jelas mana polisi dan sepakbola itu sendiri.

Bahasa orang-orang sipil di warung kopi dan jalanan suka berkelakar soal polisi  dan Bhayangkara FC seperti juga di jalanan, di stadion pun pak polisi pemenangnya. Masalahnya kepolisian ini sudah jauh menyimpang dari khittah atau  awal sebagai petugas kemanan  seperti masanya Jenderal Hoegeng dulu. 

Status polisi indonesia  menurut konstitusi yang tidak bisa disebut  militer seperti TNI dan tidak bisa disebut  sipil seperti kita menyebabkan celah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Faktanya walaupun tidak murni seratus persen militer seperti TNI namun tetap saja kekuatan polisi berada diatas rata-rata sipil indonesia apalagi stigma polisi yang masih galak  dijalanan kecuali polwanya.

Kalau bahas budaya populer atau pop kultur olahraga khususnya sepak bola  dapat ditemukan gap atau kesenjangan antara sipil dan polisi. Dalam humor-humor kekinian ala kids jaman now dalam bentuk meme atau gambar  disertai kalimat humor terlihat sekali bedanya. Meme kebanyakan menggambarkan inferiority complex sipil terhadap polisi seperti  seseru apapun kompetisinya akhirnya polisi pemenangnya. 

Selain itu kehadiran polisi sangat nyata terlihat dimana-mana sampai barisan VIP stadion sepakbola. Urusan musik dan yel-yel pun lebih teratur dan terukur serta bagus karena sering latihan bukan dadakan. Apalagi kehadiran polwan yang memang merupakan wanita-wanita cantik yang selalu mendukung membuat moral Bhayangkara naik dan moral musuh selalu turun karena minim fans wanita. 

Budaya Indonesia juga ada policewashing atau polisisasi budaya sehingga polisi dianggap sebagai kebenaran sekaligus pelindung sipil dimasa damai. Fenomena ini dapat  dilihat  dari ketergantungan masyarakat kepada polisi untuk menyelesaikan sengketa kehidupan sehari-hari.

Fenomena pembuatan klub-klub olahraga oleh polisi seharusnya sudah masuk ranah evaluasi. Sepakbola Indonesia semakin hari bukanya semakin maju malah semakin lemah karena campur tanganya para pejabat dan komandan kepada urusan olahraga sipil sampai pada tataran pengurus dan  peserta kompetisi. 

Alangkah baiknya polisi fokus pada keamanan saja sebagaimana aturan reformasi terutama pemisahan TNI dan polisi karena data menunjukan Indonesia masih kekurangan tenaga polisi dilapangan akan sangat parah apabila polisi ikutan main sepakbola. Anggaran polisi pun lebih jelas dan banyak sehingga alasan bikin klub untuk cari tambahan dana operasional tidak bisa rasional seperti TNI.

Saya memohon kepada Presiden Jokowi dan Menteri  Olahraga Nahrowi serta  Jenderal Polisi Tito dan Ketua PSSI Jenderal Edy untuk mengembalikan polisi kepada tugas  asalnya hanya sebagai  keamanan  pertandingan. Sudah cukup banyak masalah yang ditimbulkan oleh multifungsi lembaga negara dalam urusan publik sekaligus menutup lapangan kerja sipil dalam bidang olahraga sepakbola. 

Sebaiknya polisi segera angkat kaki dari kompetisi untuk kebaikan bersama. Kalau memang polisi ingin menjadi profesional yang baik sebaiknya hormati kedaulatan dan supremasi sipil terutama dalam bidang olahraga sepakbola. Demikian kiranya curhatan hati saya seorang sipil dan seorang penggemar olahraga sepak bola karena budaya semoga dapat didengarkan pihak  pemangku kepentingan semata-mata demi kebaikan bersama. sekian dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun