"Menurutku nanti kamu yang menang," kata Iskandar pelan sambil menepuk punggung Gato.
"Hmm, Terima kasih perhatianmu Mas," kata Gato sambil menyeruput kopi di depannya. "Dari mana Mas yakin aku bisa menang?"
"Dari sebab perceraian kalian. Kamu dan Pebri cerai karena dia  ketahuan bekerja di Alexis, itu bukti bahwa dia bukan wanita baik-baik, Alasan itu pasti akan menjadi pertimbangan hakim untuk  menentukan hak asuh anak-anakmu."
Setelah mendengar jawaban yang bijak dari Iskandar, wajah Gato pun berseri-seri. Segala kegalauanya tentang kekalahan di persidangan hilang  sudah.
Gato pulang ke rumah dengan bahagia. Dengan optimis ia sabar menunggu hari  persidangan cerai sekaligus sidang penentuan hak asuh anak minggu depan.
Jadwal persidangan yang dinantikan akhirnya datang juga.  Di  persidangan, Gato tampil percaya diri, Pebri pun begitu. Mereka berdua  sama-sama percaya akan mendapatkan hak asuh anak mereka.
Gato mendapat kesempatan pertama untuk menngungkapkan kenapa ia harus diutamakan dalam mendapatkan hak asuh anak.
"Pak Hakim, saya jelas lebih afdol dan dapat menjamin masa depan  anak-anak saya. Pekerjaan saya jelas sebagai tukang ojek. Penghasilan saya lebih dari cukup karena sering jadi juara menulis kompasiana.  Lagi pula, istri saya jelas-jelas bekerja di Alexis sehingga rumah tangga  kami hancur. Kurang apalagi."
Gato mengakhiri pembelaannya dengan penuh percaya diri setelah sebelumnya membaca  sekian lembar alasan-alasan lain yang memperkokoh agar hak asuh anak ada  padanya.
Kini giliran Pebri yang berbicara.
"Pak Hakim, saya mau to the point atau langsung ke pokok permasalahan. Yang benar kelima anak  ini adalah anak saya. Keluar dari badan saya. Sekarang coba tanya Gato, apa dia tahu benar anaknya? Saya bingung, Gato itu kok bisa-bisanya yakin punya  anak dari saya. Biasanya baru disentuh saja sudah keluar alias ejakulasi dini."