Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membela Kebebasan Literasi Tragedi 1965

23 September 2017   18:09 Diperbarui: 24 September 2017   05:16 4615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bidang  ekonomi coba kita teliti benar apa yang terjadi. Krisis ekonomi 1966 itu  murni hanya karena faktor dalam negeri seperti perang ataukah ada  keterkaitan dengan ekonomi global atau jangan-jangan kesenjangan ekonomi  yang dari dulu sampai sekarang menjadi polemik merupakan akar  masalhnya. Coba kata-kata Rocky Gerung untuk selalu melakukan pembanding  dengan contoh data kemisikinan yang disampaikan BPS dan politisi bisa  berbeda. Inilah pentingnya kebebasan literasi dari berbagai versi untuk  mengetahui mana yang hoax mana yang asli.

Kalau pakai sudut  pandang versi lain misalnya versi negatif atau pesimistis. Ingatan  sosial akan peristiwa 1965-66 dibentuk oleh propaganda negara dan  pembungkaman para korban. Ingatan ini menyerupai dongeng semasa  kanak-kanak: monster besar dan mengerikan bernama PKI mengancam  keselamatan orang yang sederhana dan baik hati, akhirnya dikalahkan oleh  pasukan ksatria mulia dan patriotik di bawah pimpinan Soeharto yang  pemberani. 

Dongeng semacam ini mungkin masih diyakini anak-anak sekolah  yang terus dibawa berkunjung ke Lubang Buaya dan mendapat indoktrinasi  melalui pelajaran sejarah di sekolah, tapi lain halnya bagi orang dewasa  yang cukup rasional. Sejak lama ada keraguan mengenai versi sejarah  rezim Soeharto. Saat ini, sudah ada informasi yang diterbitkan para  pelaku kekerasan anti-PKI, yang memperlihatkan bahwa militer di bawah  pimpinan Soeharto melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketimbang  terus berpegang pada versi resmi tersebut demi 'persatuan dan kesatuan,'  kita perlu secara jujur melihat keragaman ingatan orang mengenai masa  itu. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan suara korban dibungkam  dengan berbagai macam demo seperti kasus LBH jakarta baru-baru ini.

Coba  tanya para wartawan atau sejarawan atau peneliti ketika mencoba  bertanya akan tragedi 1965. Ketika mereka pertama kali bertemu dan  berbicara dengan para korban, mungkin ada marah karena selama ini  mengacuhkan sejarah masyarakat mereka sendiri, bahkan sejarah keluarga  mereka sendiri. Beberapa akhirnya mengungkap 'rahasia keluarga' dalam  proses ini. Seperti yang saya ungkap diatas heterogenitas masyarakat  Indonesia membuat identitas kita sendiri pun lepas dari label. Banyak  keluarga besar yang bercabang kepada kluarga kecil memiliki identitas  berbeda. Pandangan politik seperti memilih komunisme PKI atau  nasionalisme TNI hanya salah satu varianya saja.

Coba lakukan  riset dengan wawancara sederhana kepada orang-orang yang pada tahun 1965  dan 1966 masih hidup. Perhatikan nilai kebenaran dari cerita-cerita  yang kamu dengar dan rekam. Nilai ketepatan cerita seseorang dari  konsistensi internal, pembandingan dengan cerita orang lain, kesan yang  kamu peroleh saat melakukan wawancara, dan pendapat orang lain yang  kenal dengan orang yang diwawancarai. Pilih untuk mewawancarai banyak  korban di berbagai tempat di negeri ini agar punya landasan luas untuk  membuat perbandingan.

 Coba menggambarkan pola-pola yang lazim, misalnya  mengenai cara orang ditangkap, disiksa, dipenjara, dan kemudian  dilepaskan. Coba sering mewawancarai orang di ruang tamu mereka, duduk  dengan anggota keluarga dan teman lain yang dapat memperkuat atau  menambahkan ceritanya. Coba melakukan wawancara dengan orang-orang yang  pernah hidup di kota atau penjara yang sama, sehingga bisa mendapatkan  versi yang berbeda mengenai sebuah kejadian dan bermacam reaksi terhadap  pengalaman yang sama. Dalam wawancara, kamu memusatkan perhatian pada  hal-hal yang dialami langsung ketimbang cerita yang mereka dengar dari  orang lain. Terakhir lakukan pada waktu yang santai dan kalau bisa pada  hari libur agar tak banyak ganggu mereka.

Ingat manusia bukan  Tuhan atau Alam atau Dewa, yang tidak lebih baik atau jelek dari manusia  lain. Analogi menulis sejarah tragedi 1965 sangat sederhana kok. Pernah  pacaran? atau teman? nah coba lihat ada yang awet sampai tua menikah  dan ada yang berpisah. Ada suka duka dan manis pahitnya bukan? Anggap  saja seperti menulis kisah pacaran seseorang dari sudut pandang  mantan  dan pacar yang sekarang serta selingkuhan. Orang pasti sudah bisa menilai apakah si dia layak untuk dijadikan pacar atau istri atau tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun