Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membela Kebebasan Literasi Tragedi 1965

23 September 2017   18:09 Diperbarui: 24 September 2017   05:16 4615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: sejarah.unnes.ac.id

"Sejarah  ditulis oleh Pemenang" Ah gak juga mengutip buku  metodologi sejarah siapa saja bisa menjadi sejarawan asal sesuai aturan  penulisan.

Ijinkan saya mengutip Satyagraha Hoerip, dalam  sebuah esai kritik sastranya pada 1972, mencatat bahwa pengetahuan  tentang pembunuhan massal itu disebarkan dari mulut ke mulut.  Cerita-cerita terus beredar, tapi tidak pernah ditulis: 'Tapi yang aneh  di sini ialah, bahwa dari yang pernah-seru kita dengar itu, tidak satu  berita atau foto pun pernah kita saksikan, baik itu dari koran-koran,  majalah-majalah maupun wartawan-wartawan yang umumnya cekatan itu, di  dalam maupun di luar negeri.' 

Dengan rangkaian kata yang jarang ditemui  dalam tulisan di Indonesia, ia menggambarkan beberapa cerita yang  disiarkan dari mulut ke mulut itu: 'Lalu seperti yang kita dengar,  pembunuhan massal kemudian terjadilah di banyak tempat di Indonesia ini,  selama beberapa pekan. Ada yang langsung dipancung, dihanyutkan ke kali  baik utuh seluruh tubuhnya ataupun hanya bagian-bagian badannya saja,  ada yang dengan mata disekap berbondong-bondong digiring ke laut atau  jurang dan kemudian dari atas dihujani batu-batu; ada yang lebih  dulu  disuruh gali lubang dan kemudian dari jarak dekat ditembak masuk ke  lubang itu sehingga tinggal menimbuninya saja; dan lain-lain dan banyak  lagi.' 

Hoerip merasa ia harus melawan mereka yang berpikir bahwa  pembantaian itu mungkin tak pernah terjadi karena, terlepas dari  jumlahnya yang banyak, cerita-cerita itu tidak pernah diperiksa ulang  dan sering dilebih-lebihkan sampai orang tidak lagi mempercayainya:  'Bukankah kita tidak sangsi lagi bahwa pembunuhan massal seperti itu  sebenarnya pernah terjadi di negeri ini?'

Apakah semua itu  dilakukan penduduk biasa yang mengamuk? Apakah Angkatan Darat? Apakah  kelompok-kelompok milisi sipil seperti Banser dan Tameng? Ataukah kerja  sama antara keduanya? Berapa orang yang hilang? tewas? penjara? Benarkah  orang-orang itu PKI? Mana yang fakta? mana yang fiksi?

Dalam  bidang sastra coba kita lihat angkatan 66 yang mendukung orde baru dari  sisi yang berbeda. Cek semua penerbit  dan perhatikan semua redakturnya  kemudian menjadi sokoguru bangunan kebudayaan Orde Baru: Mochtar Lubis,  H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad. Mereka  memproklamirkan diri sebagai penegak 'humanisme universal', bertentangan  dengan ideologi-ideologi politik sempit yang menghalangi kebebasan  artistik. 

Sebagai humanis, tentu saja mereka mengungkapkan kegelisahan  atas terjadinya pembunuhan itu. Hampirsemua cerita pendek yang  diterbitkan di Horison terarah pada seorang pencerita yang mendukung  pembunuhan, tapi pada saat bersamaan, tidak suka pada kekerasan. Para  penulis 'humanis universal' tidak menampilkan pembunuhan itu sebagai  sesuatu yang tragis bagi korban, tetapi sesuatu yang tragis bagi para  pembunuh karena harus mendamaikan pembunuhan itu dengan nilai-nilai  kemanusiaan.

Dalam bidang sosial coba kita lihat para Jenderal  yang menjadi pahlawan revolusi dan yang menjadi pejabat. Cek silsilah  keluarganya dan perhatikan hubungan kekeluargaan dan pertemananya.  Ternyata ada benang merah yang menghubungkan mereka seperti Jenderal  Suharto memiliki hubungan sepupu ipar atau saudara ipar dengan wakil  Ketua PKI Njoto. Pahlawan revolusi yang meninggal seperti Siswondo  Parman seorang Jenderal Intelijen TNI AD ternyata masih ada hubungan  saudara dengan petinggi PKI Sakirman. Anehnya kebijakan bersih  lingkungan yang menghambat keluarga apabila ada anggotanya telibat 1965  seakan mempunyai pengecualian.

Dalam bidang politik coba kita  teliti benar yang dilarang itu semua golongan Kiri atau hanya golongan  Kiri yang radikal. Teks ayat konstitusi secara gamblang hanya melarang  PKI, Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Kalau saudara jeli membaca  buku-buku atau sumber-sumber atas kiri secara jelas dan rinci berarti  varian kiri lain yang lebih bersahabat dan moderat seperti sosialisme  demokratis atau sosdem masihboleh. Nyatanya kaum kiri moderat kemudian  melakukan fusi atau penggabungan dengan PDI. Oh ya jangan lupa pahlawan  kiri yang tidak radikal dan bisa menerima perbedaan seperti Alimin,  Syahrir dan Tan Malaka belum dicabut statusnya oleh pemerintah. 

Dalam  bidang militer coba kita teliti benar apakah saat itu terjadi perang  besar ataukah hanya perang kecil. Soe Hok Gie, ketika menulis tentang  pembunuhan di Bali, menggambarkan peristiwa itu lebih sebagai  pembantaian seperti yang terjadi di Uni Soviet semasa Stalin ketimbang  peperangan. Putu Arya Tirtawirya, menggambarkan pembunuhan itu sebagai  proses mencoret nama-nama dari daftar seorang pejabat. Perang yang saya  maksud disini merupakan bentrokan pihak yang sama-sama bersenjata.  

Satu-satunya perlawanan dan peperangan bersenjata atas nama PKI hanya  terjadi pada Blitar Selatan dan beberapa daerah lain yang terkesan  mandiri bukan dalam skala nasional. Ada alasan kuat bahwa pembunuhan  yang diurus melalui administrasi ini terjadi di mana-mana, dan bukan  hanya pengecualian. Sekalipun secara umum tidak banyak suara mengenai  pembunuhan itu, ada beberapa kesaksian nonfiksi yang telah diterbitkan.  Salah satunya ditulis oleh Pipit Rochiat, seorang Indonesia yang tinggal  di Jerman, pada 1984. Tentu saja tulisannya tidak pernah diterbitkan  ulang di Indonesia saat Suharto masih berkuasa.

Dalam bidang  ekonomi coba kita teliti benar apa yang terjadi. Krisis ekonomi 1966 itu  murni hanya karena faktor dalam negeri seperti perang ataukah ada  keterkaitan dengan ekonomi global atau jangan-jangan kesenjangan ekonomi  yang dari dulu sampai sekarang menjadi polemik merupakan akar  masalhnya. Coba kata-kata Rocky Gerung untuk selalu melakukan pembanding  dengan contoh data kemisikinan yang disampaikan BPS dan politisi bisa  berbeda. Inilah pentingnya kebebasan literasi dari berbagai versi untuk  mengetahui mana yang hoax mana yang asli.

Kalau pakai sudut  pandang versi lain misalnya versi negatif atau pesimistis. Ingatan  sosial akan peristiwa 1965-66 dibentuk oleh propaganda negara dan  pembungkaman para korban. Ingatan ini menyerupai dongeng semasa  kanak-kanak: monster besar dan mengerikan bernama PKI mengancam  keselamatan orang yang sederhana dan baik hati, akhirnya dikalahkan oleh  pasukan ksatria mulia dan patriotik di bawah pimpinan Soeharto yang  pemberani. 

Dongeng semacam ini mungkin masih diyakini anak-anak sekolah  yang terus dibawa berkunjung ke Lubang Buaya dan mendapat indoktrinasi  melalui pelajaran sejarah di sekolah, tapi lain halnya bagi orang dewasa  yang cukup rasional. Sejak lama ada keraguan mengenai versi sejarah  rezim Soeharto. Saat ini, sudah ada informasi yang diterbitkan para  pelaku kekerasan anti-PKI, yang memperlihatkan bahwa militer di bawah  pimpinan Soeharto melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketimbang  terus berpegang pada versi resmi tersebut demi 'persatuan dan kesatuan,'  kita perlu secara jujur melihat keragaman ingatan orang mengenai masa  itu. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan suara korban dibungkam  dengan berbagai macam demo seperti kasus LBH jakarta baru-baru ini.

Coba  tanya para wartawan atau sejarawan atau peneliti ketika mencoba  bertanya akan tragedi 1965. Ketika mereka pertama kali bertemu dan  berbicara dengan para korban, mungkin ada marah karena selama ini  mengacuhkan sejarah masyarakat mereka sendiri, bahkan sejarah keluarga  mereka sendiri. Beberapa akhirnya mengungkap 'rahasia keluarga' dalam  proses ini. Seperti yang saya ungkap diatas heterogenitas masyarakat  Indonesia membuat identitas kita sendiri pun lepas dari label. Banyak  keluarga besar yang bercabang kepada kluarga kecil memiliki identitas  berbeda. Pandangan politik seperti memilih komunisme PKI atau  nasionalisme TNI hanya salah satu varianya saja.

Coba lakukan  riset dengan wawancara sederhana kepada orang-orang yang pada tahun 1965  dan 1966 masih hidup. Perhatikan nilai kebenaran dari cerita-cerita  yang kamu dengar dan rekam. Nilai ketepatan cerita seseorang dari  konsistensi internal, pembandingan dengan cerita orang lain, kesan yang  kamu peroleh saat melakukan wawancara, dan pendapat orang lain yang  kenal dengan orang yang diwawancarai. Pilih untuk mewawancarai banyak  korban di berbagai tempat di negeri ini agar punya landasan luas untuk  membuat perbandingan.

 Coba menggambarkan pola-pola yang lazim, misalnya  mengenai cara orang ditangkap, disiksa, dipenjara, dan kemudian  dilepaskan. Coba sering mewawancarai orang di ruang tamu mereka, duduk  dengan anggota keluarga dan teman lain yang dapat memperkuat atau  menambahkan ceritanya. Coba melakukan wawancara dengan orang-orang yang  pernah hidup di kota atau penjara yang sama, sehingga bisa mendapatkan  versi yang berbeda mengenai sebuah kejadian dan bermacam reaksi terhadap  pengalaman yang sama. Dalam wawancara, kamu memusatkan perhatian pada  hal-hal yang dialami langsung ketimbang cerita yang mereka dengar dari  orang lain. Terakhir lakukan pada waktu yang santai dan kalau bisa pada  hari libur agar tak banyak ganggu mereka.

Ingat manusia bukan  Tuhan atau Alam atau Dewa, yang tidak lebih baik atau jelek dari manusia  lain. Analogi menulis sejarah tragedi 1965 sangat sederhana kok. Pernah  pacaran? atau teman? nah coba lihat ada yang awet sampai tua menikah  dan ada yang berpisah. Ada suka duka dan manis pahitnya bukan? Anggap  saja seperti menulis kisah pacaran seseorang dari sudut pandang  mantan  dan pacar yang sekarang serta selingkuhan. Orang pasti sudah bisa menilai apakah si dia layak untuk dijadikan pacar atau istri atau tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun